Pada kesempatan acara sinau bareng atau ngaji bareng Mbah Nun dan Kiai Kanjeng, saya selalu melihat agenda jadwalnya yang update setiap bulannya, memang tidak pada satu tempat saja. Ada beberapa tempat, misalnya ada yang hari ini jadwal acaranya di Yogyakarta, besoknya ada jadwal acara di Gresik, lain harinya lagi jadwalnya di Surabaya dan selang istirahat satu hari, ada jadwal acara di Yogyakarta lagi. Semakin bertambahnya umur beliau dan juga beliau punygawa Kiai Kanjeng yang saya lihat beliau-beliau masih begitu energik, padahal jadwal padat. Setiap harinya sudah di jadwalkan menemui anak cucu-cucunya di berbagai tempat.
Setiap hari berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya, jam tiba di lokasi juga harus tepat, bukannya tiba dilokasi langsung naik ke atas panggung, tetapi juga harus istirahat dahulu kemudian menata alat musik mereka, masih dilanjut check sound terlebih dahulu sebelum acara sinau bareng di mulai. Itupun yang dilakukan tidak hanya satu kali, dua kali ataupun tiga kali, bahkan sudah 3000 lebih pergelaran Mbah Nun dan Kiai Kanjeng lakukan.
Menurut Alquran yang sudah saya baca, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia”. (Al-Anfal 74).
Pada bulan Oktober kemarin saya juga sempat membaca tulisan Cak Fuad di redaksi BangbangWetan, yang saya tangkap dari tulisan beliau memang menjelaskan arti dari Surat Al-Anfal ayat 17 di atas. Hijrah tidak bisa dipisahkan dari iman dan jihad (dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah). Iman lah yang menjadi landasan dan sekaligus penggerak hijrah. Hijrah adalah satu bentuk jihad. Untuk berhijrah, seseorang harus berjihad melawan dirinya sendiri, jihadun-nafsi, karena berhijrah berarti meninggalkan banyak hal yang menyenangkan, yang dicintai. Frasa pada jalan Allah (fi sabilillah) yang selalu menyertai kata jihad, harus dimaknai sebagai syarat sahnya sebuah hijrah dan jihad. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan “Barang siapa berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan dapatkan Allah dan Rasul-Nya; tapi barang siapa berhijrah untuk dunia (mungkin) dia akan memperolehnya; atau berhijrah untuk wanita (mungkin) dia akan mengawininya”. Sama-sama berhijrah dan berjihad, bisa berbeda nilainya, tergantung pada niatnya.
Bagaimana dengan hijrah kita di masa sekarang? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa “Tidak ada hijrah setelah pembebasan Mekah, yang ada ialah jihad dan niat”. Pintu jihad terbuka sampai hari kiamat. Dalam hadist lain beliau bersabda bahwa “Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala. Dalam hadist ini beliau memberikan makna yang paling mendasar dari hijrah, yakni “meninggalkan larangan Allah”. Inilah hijrah kita sepanjang zaman. Hijrah adalah niat, tekad, dan perjuangan untuk meninggalkan tempat atau keadaan yang membahayakan iman menuju tempat yang menyuburkan iman. Hijrah adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Berubah dari kekufuran kepada iman. Berubah dari kufr an-ni’mah kepada syukr an-ni’mah. Berubah dari maksiat kepada taat, dari sami’na wa ‘ashaina kepada sami’na wa atha’na. Berubah dari orientasi hidup duniawi kepada orientasi hidup ukhrawi. Berubah dari menyembah thaghut (idola, pemimpin pujaan, partai, organisasi, ideologi) kepada menyembah Allah yang tiada sesembahan selain Dia.
Berarti hijrah adalah berpindah orang-orang dari satu tempat ke tempat yang lain, maka fenomena pindahnya seorang politisi dari satu partai ke partai yang lain bisa juga disebut sebagai “hijrah”. Akan tetap nilai hijrahnya bergantung kepada niatnya. Ketika seorang politisi keluar dari partainya dengan alasan bahwa arah dan kebijaksanaan partainya sudah dinilainya bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan, atau prinsip aqidah dan syariah pokok agamanya, maka hijrahnya adalah hijrah kepada kebenaran atau kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, jika motivasi pindahnya adalah untuk mengejar jabatan dan harta kekayaan atau keuntungan duniawi lainnya, maka mungkin dia akan memperoleh apa yang diinginkannya, atau tidak memperolehnya sama sekali, dan sangat wajar kalau masyarakat menyebutnya sebagai “kutu loncat”. Wallahu`a’lam.
Begitulah yang tertulis pada akun redaksi Bangbangwetan, yang di tulis oleh Ahmad Fuad Effendy(Cak Fuad) sebagai Marja’ ilmu-ilmu Maiyah. Aktif menemani Majelis Ilmu Maiyah PadhangmBulan Jombang dan ReLegi Malang. Penulis buku, Pengajar Bahasa Arab, dan Pengurus IMLA. Anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center Saudi Arabia.
Tentunya kita sebagai JM, sudah selayaknya menjadikannya teladan, kita yang masih muda tentunya harus lebih bermuhasabah diri. Apa yang sudah dilakukan oleh Mbah Nun dan Kiai Kanjeng memang benar-benar berhijrah dari masa lalu hingga masa kini, dan sebagaimana yang kita jalani saat ini, apakah kita sudah termasuk berhijrah, mengikuti sinau bareng kesana kemari, sampai-sampai tidak pernah tahu sudah berapa kilometer kita ini mengikuti sinau bareng Mbah Nun dan Kiai Kanjeng.
Selagi waktu tidak menganggu pekerjaan, keluarga dan istri bagi yang sudah punya itu tidak masalah, kita mengikuti acara sinau bareng. Karena kita mengikuti acara sinau bareng Mbah Nun dan Kiai Kanjeng, rasanya tidak mungkin kalau tidak diperjalankan oleh Allah Ta’ala.
Jepara, 12 Desember 2017