blank

Tanggal 25 Desember 2016 Jamaah Maiyah Gambang Syafaat (Jamaah GS) berulang tahun ke 17. Kanjeng Nabi sesungguhnya tidak pernah mengajarkan apa itu ulang tahun, bahkan beliau sendiri tidak memilih tanggal lahirnya digunakan sebagai dasar awal pertama tahun baru Islam. Rasulullah Muhammad SAW justru memilih peristiwa hijrah sebagai awal, karena beliau tidak ingin dirinya menjadi ”master”, apalagi ”icon” Islam. Beliau adalah pribadi yang sangat tawadu` bahwa Muhammad hanya utusan Allah.

Artinya ”ulang tahun” Rosulullah kita ingat semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terimakasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Allah SWT. Ulang tahun beliau kurang penting dibanding peristiwa hijrah karena inti Islam sesungguhnya adalah hijrah ini, yakni hijrah dari kegelapan kepada pencerahan, dari pasif ke aktif, dari personal ke organisatoris, dari taqlid ke rasional, dari sekadar menjalankan hukum fiqh ke akhlak moralitas atau syariah muamallah, dari individu sempit ke pluralisme, dari sekedar mendewakan materi menjadi kesadaran energi atau cahaya, dsb. Dalam ilmu fisika, gerak adalah sumber kekuatan untuk perubahan, dan hijrah adalah gerak transformasi dalam kehidupan sosial manusia.

Pertanyaannya kini, sampai sejauhmana GS bergerak transformatif  dalam perspektif hijrah tersebut?  Jamaah GS tentu tak perlu berkecil hati jika belum mampu berbuat banyak seperti itu. Bagi saya, asal para jamaah tidak menambah jumlah individu munafik, jahat, korup, dst sudah cukup. Tentu yang diharap adalah GS menjadi salah satu titik simpul gerakan hijrah Maiyah yang turut akan mengubah Indonesia menjadi mercusuar dunia, baik secara ekonomi, akhlak dan keadilan. Jamaah GS tak perlu minder, karena organisasi yang mengaku Islam dan besar seperti NU dan Muhammadiyah saja sampai sekarang belum mampu merumuskan ”ideologi” Islam dalam perspektif kebudayaan yang luas, utuh dan padu untuk memperbaiki nasib bangsa. Mereka baru gagah berani ketika berbeda pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih atau kapan hari raya tiba.

Tidak apa-apa jika sekarang jamaah GS baru sampai pada tataran menjadi ”tukang batu” atau ”laden tukang” asal ini semua konkret untuk membangun atau ”nglepo tembok” untuk mewujudkan bangunan ”istana Indonesia” yang megah. Gerak ini justru lebih riil ketimbang seorang santri atau intelek Islam yang sudah bertahun-tahun belajar ilmu Islam bahkan hingga Amerika maupun Mesir, namun sampai kini tak kunjung ”cancut taliwondo” membangun sebuah strategi kebudayaan yang utuh untuk mewujudkan negeri ”baldatun thayyibatun warrabun ghafur”.

Modal untuk jamaah GS cukup sederhana, yakni : asal mereka mau bergerak. Kita tidak harus menjadi ”ahli Islam” sekelas Gus Dur untuk berbuat sesuatu. Jamaah Maiyah harus mampu memilih dan memilah mana sikap yang seharusnya kita ambil dan mana yang sepatutnya tidak kita adopsi. Kita jangan keliru-keliru dalam melangkah. Sedikit saja kita salah mengambil keputusan, maka tanpa kita sadari kita telah menciptakan tuhan baru dalam hidup kita, dan ini awal kegagalan gerakan kita.

Eling lan Waspada

Tantangan jamaah GS tidak ringan karena kita berada dalam ”kebudayaan bohong”. Lingkaran kebohongan sudah merasuk ke sel-sel darah masyarakat kita hingga negeri ini sesungguhnya sudah roboh.

Kondisi politik negeri ini nampaknya hampir membuktikan tesis-tesis di atas. Jamaah GS mesti eling lan waspada dan kita harus dapat membuktikan peran kita. Ghirah Islam jamaah GS jangan berhenti pada tataran formalitas seperti maraknya ceramah-ceramah agama, munculnya puluhan ustadz di TV, ramainya lembaga dakwah, ramainya pembukaan kursus-kursus sholat khusuk, atau pendirian organisasi berlabel Islam. Kita masih belum membumikan Islam dalam perspektif hijrah tersebut, bahkan momen-momen penting setelah sholat berjamaah atau sholat jumat kita lewatkan begitu saja.

Banyak umat yang terjebak ritual belaka. Ritual memang penting namun ini hanya metoda. Antara horizontal dan vertikal harus berdialektik. Sadar atau tidak kita sering terjebak pada sekularisme yang sering kita kutuk itu, karena sekularisme tidak sekadar sikap/pandangan hidup yang memisahkan antara dunia dengan agama, namun juga sikap yang memisahkan antara agama dengan dunia. Islam adalah agama ”action”. Lihat  saja Quran 96,5 % berisi tentang muamallah, dan Allah hanya butuh yang 3,5 %. Muamallah rumusnya ”lakukan apa saja kecuali yang Allah larang”. Dengan kata lain sekuler juga terjadi jika ada orang yang kelihatannya alim, sholeh, bekerjanya ibadah saja, dst, namun tanpa memperhatikan dunia atau lingkungannya (yang selama ini kita anggap orang yang seperti itu bersikap religius).

Untuk dapat action, jamaah GS mestinya juga siap dengan metoda yang benar. Kalau orang Jawa bilang : pener, pinter, lan bener, maka dalam mengamalkan Islam juga mesti ditambah dialektika, indah, baik, dan benar. Benar harus baik. Baik harus Indah. Harus terjadi dialektika dari ketiganya. Sesuatu yang ”benar” kalau kita menyampaikannya tidak dengan ”baik” dan ”indah”, maka tidak akan maksimal pencapaian kita dalam menyampaikan pesan kebenaran tersebut. Sebaliknya, sesuatu yang ”baik” dan ”indah” tetapi tidak mengandung kebenaran akan menghancurkan diri kita, lingkungan, atau bahkan alam semesta ini.

Jamaah GS harus Cendekiawan

Modal lain yang penting bagi jamaah GS agar dapat action dengan baik, benar dan indah adalah mereka harus menjadi ”cendekiawan sejati”. Mestinya dialog-dialog yang kita gelar tiap tanggal 25, menjadi modal dasar untuk menjadi seorang cendekiawan. Kalau tidak, apa artinya kita berdiskusi? Apa artinya Cak Nun dkk menguraikan ilmu-ilmunya? Apa artinya kita tiap hari baca Quran?

Jangan salah sangka, cendekiawan bukan lulusan universitas. Yang terjadi justru sering sebaliknya, universitas kita sering memproduksi sarjana yang siap menjadi sekrup industri, yang siap 4 kali 4 bukan 16, tapi tergantung atasan. Cendekiawan juga bukan ICMI saja, karena nama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang kini tengah kita pertanyakan perannya, sebenarnya kurang tepat, demikian kata Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Mestinya, kata Cak Nun, nama itu dibalik, yakni Ikatan Muslim (yang) Cendekiawan. Jadi mestinya subyeknya “muslim” dulu baru cendekiawan.

Mengapa muslim dulu? Jawabnya sederhana, jika memang orang itu benar-benar telah muslim artinya orang yang “Islam”, maka insya Alloh ia akan cendekiawan juga. Sederhana saja dalam ajaran Islam, manusia itu diciptakan dalam kondisi sebaik-baiknya dan ia menjadi khalifah. Tentu seseorang tidak akan mampu jadi khalifah yang baik jika ia bukan cendekiawan. Kecendekiawanan tidak harus lahir dari dunia persekolahan atau universitas namun dari seberapajauh ia mampu mengolah otaknya untuk memahami ayat-ayat Allah baik yang tersurat atau yang tersirat.

Terlepas dari perdebatan itu ada satu pertanyaan penting bagi kita, yakni sampai seberapajauh kontribusi kita bagi bangsa ini? Bagi umat manusia bahkan alam semesta ini? Banyak ikatan cendekiawan yang ternyata hanya digunakan sebagai kendaraan politik. Jangankan organisasi relatif ”sekuler” seperti ini, sedangkan organisasi keagamaan saja juga banyak digunakan untuk batu loncatan karir duniawi, entah jadi wakil bupati, wakil gubernur atau wakil presiden, dst.

Karenanya pertanyaan penting ke depan adalah, mampukah jamaah GS menyumbangkan perannya dalam memperbaiki kondisi bangsa yang nyaris rusak dalam segala hal ini ? Jika tidak mampu, untuk apa kita tiap tanggal 25 berkumpul dan berdiskusi ? Kita juga tidak ingin ”jumawa” seperti ICMI yang dengan gagah berani mengatakan dirinya ”cendekiawan” alias ”orang-orang pintar”. Sebuah ”kesombongan” yang harus dibuktikan.

Cendekiawan sejati akan selalu menjaga diri dan menjaga jarak agar segala tindakan dan pemikirannya tidak terjebak kepada pemihakan. Cendekiawan tidak haram menerima keuntungan materi sejauh itu hanya merupakan “efek samping” dari pembelaannya kepada kebenaran (ilmiah), dan bukan tujuan utamanya.

Seorang cendekiawan, memang boleh saja keluar dari ranah kepakarannya, namun tetap didedikasikan untuk bangsa dan negara serta kemartabatan manusia. Kata Gramsci, mereka harus turun gunung, keluar dari kepompong untuk keperluan tersebut, dan dalam istilah Jawa ada kata “mesu budi” dan dalam jaman Renaissance ada istilah asketisme intelektual. Semua muaranya sama, yakni menghendaki cendekiawan menjadi pendamping rakyat, menjadi pencerah, tidak berorientasi kekuasaan dan materi.

Karenanya seorang cendekiawan idealnya berada di luar pagar politik untuk menjadi “wasit’ yang adil guna meluruskan tindakan para politikus yang akan memperebutkan kekuasaan. Kalaupun seorang cendekiawan “terpaksa” larut dalam kepentingan politik, maka ia harus menjadi seorang “resi” yang selalu memberi nasehat bijak tanpa motivasi untuk ikut menikmati kekuasaan. Ia tentu saja boleh mengingkari hal ini, namun ia tidak boleh lagi disebut cendekiawan, karena ia sudah berubah kelamin menjadi politikus.

Dari titik inilah jamaah GS mestinya juga dapat melahirkan para cendekiawan, dan karena kita mesti  mampu mereformasi diri terutama harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang.