Seringkali kita mendengar istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sifat dan perilaku anak tak akan jauh dari orang tuanya “like father like son” kata orang bule.
Wisanggeni dan Abimanyu, mungkin Anda semua pernah dengar, mengerti atau bahkan mengidolakan salah satu/kedua tokoh tersebut.
Mereka adalah putra Arjuna yang flamboyan alias Parta alias Palguna alias Dananjaya alias Permadi alias Panduputra alias Begawan Ciptaning lelanange jagad, Don Juan dalam dunia internasional pewayangan. Para dewa pun mengakui sampai kolong kayangan semua tahu. Dalam prahara di Mandaraka, istri sepupu sendiri (Banowati istri Duryodana) bisa kepincut karena ketampanannya.
Wisanggeni, wisa berarti bisa dan geni adalah api. Lahir dari percintaan terlarang dengan bidadari kayangan bernama Dresanala putri dewa Brahma. Saat bayi, Wisanggeni di lempar ke kawah Candradimuka, bukannya mati malah tumbuh menjadi satria tanpa tanding kebal terhadap senjata apapun. Wisanggeni yang bicara apa adanya, hanya kepada Sang Hyang Wenang dirinya bersikap santun dan sopan. Meski terkesan urakan, semua orang mengakui kehebatan anak muda ini. Mungkin karena manusia setengah dewa seperti Hercules dalam mitologi Yunani. Dalam jagad pewayangan orang jawa bilang keta kete, mungkin Wisanggeni satria paling mbeling, selain sepupunya Antasena.
Abimanyu dari kata abhi(berani) dan man’yu(tabiat) lahir dari Subadra adik ahli siasat dan taktik Kresna raja Dwarawati. Kesaktian Abimanyu masih di bawah Wisanggeni mungkin karena manusia normal bukan turunan dewa, tetapi mewarisi ‘ke Don Juan an‘ sang ayah.
Pada saat menjelang Barathayuda Wisanggeni naik ke kayangan. Maklumlah masih darah dewa, dia minta restu ke kakek-kakeknya yang jadi dewa. Karena kesaktian yang luar biasa para dewa tidak bisa mengijinkan Wisanggeni ikut Barathayuda. Kurawa bisa mogok perang karena ada dewa ikut perang. Kalaupun dipaksa, bisa-bisa dalam hitungan detik musuh Pandawa musnah karena kobaran api Candradimuka yang keluar dari mulut Wisanggeni. Para Dewa mengadakan sidang istimewa di kayangan. Tercapai mufakat bahwa Wisanggeni harus diracut/dibinasakan supaya tidak mengganggu jalannya Skenario Barathayuda. Demi kemenangan Pandawa sang anak rela jadi tumbal dan meleburkan diri di Swargaloka.
Sedangkan Abimanyu yang notabene satrio bagus. Mempunyai istri bernama Sundari putri dari Kresna. Karena terobsesi seperti bapaknya, Abimanyu ingin poligami. Utari perempuan cantik dari Wiratha putri dari Prabu Matsyapati jadi incaran Abimanyu. Pada saat Abimanyu melamar sang primadona hampir ditolak karena Utari curiga Abimanyu sudah berkeluarga. Namanya orang terlanjur cinta “wong yen lagi gandrung ora peduli mbledose gunung” kata Waljinah. Abimanyu mengucapkan sumpah serapah “Nok Utari ingsun isih legan durung duwe kromo.., yen ora percaya aku wani mati dikrocok gaman sewu”(Dinda Utari saya masih perjaka belum punya istri jika tidak percaya saya berani sumpah mati ditumbak seribu senjata). Sumpah serapah Abimanyu terdengar sampai kayangan, petir menggelegar dan kilat menyambar-nyambar. Mulutmu adalah harimaumu sumpah itu disaksikan bumi langit laut dan gunung. Karena sumpah itu Abimanyu, dalam perang Barathayuda menerima karmanya dia gugur dengan berbagai senjata menancap di tubuhnya.
Dari penggalan kisah anak Arjuna tadi kita belajar dari Wisanggeni yang melambangkan api(amarah) meskipun urakan, mbeling, pemarah dan tidak mengerti tatakrama tapi rela berkorban untuk kemenangan Pandawa. Begitulah, dalam dalam kehidupan ini memang tak jarang dibutuhkan tumbal/ongkos sosial untuk melenggangkan jalan atau memenuhi keinginan bagi kepentingan tertentu. “JER BASUKI MAWA BEA”
Sedangkan, dari Abimanyu kita bisa ambil pelajaran bahwa sekecil apapun perbuatan kita pasti suatu saat ada balasannya entah itu baik atau buruk. Maka melakukan segala sesuatu, meski sekedar ucapan mesti diperhitungkan dan berhati-hati. “NGUNDUH WOHING PAKARTI”
JAYA JAYA WIJAYANTI LEBUR DENING PANGASTUTI RAHAYU RAHAYU RAHAYU. NUWUN…
TANCEP KAYON