Akhirnya peralatan yang memenuhi panggung GS dibunyikan. Musik Kidung Syafaat (KS) mengawali dengan lantunan sholawat “Aba Bakrin” dilanjutkan nomor-nomor khas Kiai Kanjeng (KK), bersamaan dengan Pak Ilyas beserta dua nyai dalang imut putrinya memasuki panggung.
Selesai beberapa nomor dari musik KS, Pak Ilyas memberikan pengantar untuk anak-anaknya melakonkan kulit berukir diatas gedebog pisang. Lakon yang dimainkan adalah “Semar Mbangun Kahyangan”. Wayang dimainkan bergantian oleh kedua putri Pak Ilyas ditemani seorang asisten dalang dibelakangnya, Elisa sang kakak lebih dahulu memulai lakon. Pertunjukan wayang kulit membuat seluruh jamaah GS terbawa suasana, mengernyitkan dahi, senyum sendiri, tertawa lepas, ada juga yang sudah terkantuk-kantuk.
Selama dua jam kurang lebih dimainkan, tinggal satu babak, pertunjukan wayang break sebentar untuk kembali diskusi. Kang Jion memberikan suluk tembang “Nyidamsari” untuk kemudian musik KS memainkannya sebagai penutup babak sambil mengundang Mas Agus, Om Budi dan Gus Aniq kembali memasuki panggung.
Om Budi yang hari itu berpenampilan berbeda dari biasanya: berkalung tsurban dan berpeci tinggi sekali bermodel susun warna hijau, langsung saja melempar mic ke mas Agus untuk menjelaskan duduk perdiskusiannya.
Benar saja, meski datang terlambat ternyata Mas Agus sempat mendengar penjabaran sebelumnya melalui streaming radio GS. Mas Agus dengan penjabaran khas budaya jawa langsung menyambung apa yang disampaikan Gus Aniq sebelumnya perihal bebrayan model pancawara. Mas Agus memulai dengan menunjuk papan tulis tergambar peta Jawa Tengah di sebelah kanan panggung yang entah oleh siapa dan buat apa benda itu berada disana. Dengan menunjuk wilayah-wilayah yang ada di peta, Mas Agus mengatakan: “andaikan titik-titik tersebut saling bergandengan satu dengan yang lain maka sudah berapa banyak orang yang akan terlibat secara kuantiti?” Kemudian jika itu dikembangkan dalam bentuk-bentuk bebrayan, entah itu bebrayan ekonomi, bebrayan di wilayah pertahanan dan keamanan, bebrayan di wilayah literasi, pengobatan, dsb, maka akan menjadi lebih kuat lagi. Karena di masing-masing wilayah memiliki pos dan mayor sendiri-sendiri. Sehingga masing-masing tempat akan saling bahu membahu, saling menjunjung, mengusung satu ‘bebrayaning urip’ dengan cara ‘bebrayan ing sepodo-podo’. Ini menurutnya adalah representasi dari bebrayan agung.
Bebrayan agung itu sarat utamanya manusia yang satu dengan yang lain itu sudah ruku’. Dalam ruku’ itu yang disebut Gusti Allah Kang Maha Agung, ruku’ artinya tidak lagi berminat menampakkan wajahnya. Ketika yang dijumpai adalah wajahnya Allah dimana pun dia menghadapkan mukanya maka mau tidak mau harus menunduk, mau tidak mau harus ruku’. Ketika model masyarakat bebrayan ini model ruku’, saling menghormati satu dengan yang lain artinya adalah agung atau fenomena ke’adhim’an, satu dengan yang lain akan mengagungkan.
Kaitan dengan pancawara adalah dimana manusia purwa leluhur kita mensepakati untuk membentuk cara bebrayan dengan model pasar. Pasar itu dari kata masar yang artinya nyebar, mesra itu artinya berkumpul, kalau pasar itu fenomena dari pasar itu sendiri. Lalu yang disebar itu apa? Yang disebar adalah ‘pepegang’ atau bawaan, jadi ketika membawa pepegang itu harus di-‘suda’. ‘Nyuda ing pepegang’ itu nama dagang. Bukan jual beli menggunakan uang dst, karena fenomena utamanya adalah ingin menyuguhkan yang terbaik dimana dia berasal kemudian nanti dipersembahkan dalam bebrayan atau pasar tersebut.
Pasar itu ada lima: legi, pahing, pon, wage, kliwon. Pasar utamanya ada di kliwon karena kliwon adalah pancer. Pasar kliwon itu pasar yang paling lengkap, jadi rasa legi, pahit, getir, asin, dst berkumpul di pasar ini. Kalau pasar legi itu yang warna putih atau yang rasanya manis. Beras itu bisa dijual di pasar legi meskipun rasanya tidak manis tapi warnanya putih, kain tidak bisa dijual di pasar legi kecuali mori putih, dst. Pasar pahing itu pasar yang ‘pahitan’, pasar yang dijual adalah jamu-jamuan, akar-akaran, termasuk gedhek sebab ‘nek digeged gedhek-gedhek’ soalnya pahit. Pasar pon itu empon-empon, tapi bukan sekedar akar-akaran dan dedaunan ketika dipresentasikan ketika pahing, tetapi juga praktek terhadap sentuhan langsung kepada pasien. Jadi empon-empon itu akar-akaran, daun-daunan, pijat, refleksi, macam-macam, termasuk penyembuhan yang sembuh cukup hanya didengarkan seperti curhat. Pasar wage itu yang dijual hewan berkaki empat: sapi, kerbau, kambing, dsb.
Akhirnya semuanya itu berkumpul di pasar ageng yang disebut sebagai bebrayan ageng dimana satu dengan yang lain saling berbagi rasa kasih. Makanya nama lain dari kliwon disebut kasih, misal selasa kliwon (anggara kasih), sabtu kliwon (saniscara kasih). Karena kasih adalah pusaran utama untuk kita terlegitimitasi membangun penampang sosial. Kalau tidak ada kasih kita tidak dapat membuat penampang sosial.
“Kita yang berada jarak satu meter dua meter ini saja ketika tidak ada rasa kasih sayang satu dengan yang lain itu tidak terjadi penampang sosial. Tetapi ketika sejauh itu didalam peta tersebut terjadi model kasih berarti sejauh itu juga akan terbangun penampang sosial. Masyarakat yang sebanyak itu memegang satu hal yakni: satu, saling mengagungkan apapun yang dijumpai, dan yang kedua, saling mengasihi dengan apapun yang terjadi”.
Ketika bebrayan makin kuat secara peradaban, masuknya budaya luar paska kolonial sampai sekarang menggerus bebrayan agung ini. Misal seperti uang zaman dahulu, ketika itu bukan untuk transaksi ekonomi, tapi uang itu untuk persembahan. Mas Agus membayangkan fenomena pasar waktu itu seperti jumatan, orang tidak sedang berniaga tapi sedang membangun cinta satu dengan yang lain dengan menyuguhkan yang terbaik, nyuda pepegang. Nyebar, nyuda pepegang, pulang membawa oleh-oleh. Oleh-oleh ini karena asumsinya ketika setiap orang datang ke pasar pasti akan membawa sesuatu, entah wacana baru, ilmu baru, kenalan baru, barang baru, dsb. Hal semacam ini semakin tergerus, orang tidak meminati lagi model yang tidak praktis, jadi mencari cara praktis menggunakan model duit, model alat tukar, dsb. Sehingga sekarang penyempitan pasar itu sudah berbeda maknanya, penyempitan dagang itu sudah berbeda maknanya.
Dalam diskusi “Mbudidaya Bebarayan Agung” ini mari kita kembali kepada spirit dimana kita meletakan diri kita ketika bebrayan. Bukan sedang untuk pemenuhan diri kita sendiri secara personal dimana itu masuk dalam kategori milik atau menguasai, tetapi ketika bebarayan itu masuk kedalam fenomena merelakan satu dengan yang lain, itu pasti hasilnya lebih banyak. (Redaksi – Arif Luqman Kastury)