Ini adalah sebuah catatan kecil yang saya coba buat untuk sekedar memberi jejak, jejak saat saya hadir di Gambang Syafaat edisi Juli 2016. Pertemuan rutin yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun, hari itu membahas tema Hari Raya Meriya(h). Dalam hati saya menduga, ini pasti ada hubungannya dengan kemeriahan hari raya dan unsur riya dalam sebuah hiruk pikuk. Dan inilah yang bisa saya dapatkan, tidak lengkap itu pasti, sebab kalo lengkap bisa jadi reportase.
Gebyar-gebyar hari raya iedul fitri sudah menjadi tradisi di negeri ini. Kemeriahan memenuhi seluruh penjuru negeri dengan dengan cara penyambutan yang berbeda. Entah darimana kemeriahan yang selalu mewarnai tanda berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya 1 Syawal itu berasal, itu seperti sudah melekat dalam kehidupan sosial kita. Melekat di kehidupan sosial tentu prosesnya lama, ada proses turun temurun.
Idul fitri bisa diartikan kembali atau menuju fitroh atau suci, dan puncak dari kembali adalah ilaihi rojiun (kembalinya seorang hamba pada Gusti Allah swt). Sementara hari raya bisa diterjemahkan dari dua sundut pandang, yaitu dilihat dari peristiwanya berupa pesta, perayaan, atau bentuk penyambutan terhadap hari yang “spesial” atau “suci”. Dan sudut pandang yg lain yaitu saat dimana kita melakukan renungan-renungan.
Hal yang utama adalah perlu dipertimbangkan mana tradisi yang dipertahankan dan bagian yang mana yang harus diperbaiki dengan mempertimbangkan aspek baik dan mudharatnya. Karena memerangi tradisi adalah suatu hal yang konyol (bunuh diri). Sebuah tradisi digerakkan oleh energi yang besar dengan keyakinan, sehingga perlu disikapi secara bijaksana dengan melihat fungsi utama, etika dan estetika.
Yang menjadi “salah” adalah ketika puasa dianggap sebuah belenggu, dan ketika idul fitri semua menjadi lepas kendali. Maksiat kembali ramai, bendera permusuhan kembali berkibar, dan hawa nafsu kembali memimpin. Seseorang merayakan hari raya yang sebenarnya bisa saja ketika dalam kondisi duduk, berdiri, diam baik lapang atau sempit, asalkan tiap hari orang tersebut berpuasa. Mari merenungi dan mensujudi setiap peristiwa yang terjadi, apapun itu dalam konteks keimanan baik secara individu maupun sosial. Dengan perenungan kita jaga hubungan harmonis (kedekatan) dengan Allah SWT. Tentu catatan kecil saya ini bisa jadi tidak tepat betul, tapi niat berbagi semoga menjadi alasan Allah memaklumi saya.
Aini (Jamaah GS, Anggota Group Forkom)