Sepuluh tahun setelah lengser dari kursi kepemimpinannya, Mbah Jono masih dipanggil Pak RT. Jabatan itu telah melekat pada tubuh sosok yang sekarang telah keriput tersebut. Apa pasal? Ia menjabat menjadi ketua RT selama tiga puluh enam tahun. Usia jabatan yang melebihi usia jabatan presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Gubernur boleh ganti, bupati juga begitu, camat, lurah tetapi Mbah Jono tetap menduduki jabatan RT dengan tenang. Tidak ada yang mendemonya untuk lengser. Ada sih masyarakat yang protes atas kinerja Pak RT misal rumput kanan-kiri jalan yang tidak bersih, selokan tersumbat, masalah keamanan dan kebersihan kampung, tetapi tidak ada yang berani bilang ‘turunkan Pak RT”.
Di rapat tahunan, Pak RT selalu menyampaikan keinginannya untuk bisa lengser dan istirahat. “Bapak-bapak sekalian, sayakan sudah tua. Kerja saja sebagai ketua RT sudah tidak optimal. Lagi pula sekarang banyak anak-anak muda. Banyak juga yang sarjana. Mereka sudah pasti lebih unggul dari saya.”
Tetapi orang-orang kampung itu selalu mengelak dengan berbagai cara dan alasan. Ada yang memberikan alasan tidak diizinkan istri, kerja di kantonya sampai malam, dan berbagai alasan lain. Pada akhirnya lagi-lagi Mbah Jono menjabat sebagai ketua RT.
Mengingat nasib Mbah Jono tersebut saya jadi teringat dengan pertayaan yang disampaikan oleh Jamaah Gambang Syafaat kepada Sabrang Mowo Panuluh. “Seorang pemimpin itu diperjuangkan atau sudah garisnya menjadi pemimpin?”
Mendapatkan pertanyaan demikian, Sabrang menjawab. “Orang yang memperjuangkan dirinya menjadi pemimpin itu bukan pemimpin. Pemimpin yang demikian pasti melihat jabatan sebagai fasilitas. Pemimpin adalah tanggungjawab. Seseorang yang melakukan tanggungjawab kepemimpinan dan oleh orang-orang di sekelilingnya dianggap paling layak. Maka tidak ada pemimpin bilang aku wae-aku wae. Para pengganti Nabi itu, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, itu tidak ada yang mengajukan diri sebagai pemimpin.”
Sabrang melanjutkan, ketika Abu Bakar dianggkat menjadi Khalifah, beliau mengatakan kepada umat. “Ikutilah aku saat aku mengikuti kanjeng Nabi.”. Kalau sepertinya kepemimpinan itu sudah digariskan, atau misale seolah-olah ada ‘bakat’ itu perwujudan dari perjalanan panjang dari para pendahulunya, itu semacam hasil dari tabungan kerelaan bapaknya, kakeknya dan seterusnya.
Kembali lagi ke Mbah Jono. Di zaman sekarang ini semua yang mengajukan diri sebagai pemimpin menepuk dada menunjukkan diri yang paling berprestasi, yang paling layak. Memasang gambar di mana-mana, mereka rebutan, saling menjelekkan dan menjatuhkan. Mereka mengatakan “Aku wae, aku wae”. Tapi tiba saatnya ditunjuk sebagai ketua RT yang tangungjawabnya besar tetapi tidak ada fasilitasnya maka mereka rebutan bilang, “Ora aku-ora aku.”
Apakah hal itu juga terjadi di organisasi masyarakat dan perkumpulan mahasiswa misalnya? Tentu saja. Orang-orang pada saling me-monggo-kan saat ditawari jabatan sebagai ketua ranting, sebagai korlap. Tetapi mereka rebutan saat pemilihan ketua tingkat kabupaten, provinsi, apalagi pusat. Mengapa? Di tingkat itu ada fasilitas. Mereka tidak merebut tanggungjawab tetapi merebut fasilitas. Fasilitas tidak saja gaji atau uang, tetapi akses.
Pemimpin sejati adalah yang mengemban tanggungwababnya dan bukan merebut fasilitasnya semacam Pak RT Jono tadi. Jika saja RT pun telah menjadi rebutan, kita perlu melihat dengan jernih, apa motivasi nya ? Semoga RT tetap tidak digaji, tetap tidak ada fasilitas, tetap isinya cuma tanggung jawab, agar tersisa pemimpin-pemimpin sejati.