“Ini dia Cak Nun dan KiaiKanjeng….”, pemandu acara yang telah mengondisikan para peserta mempersilakan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Kemudian serombongan bapak-bapak berbaju batik dan berpeci hitam yang tak lain adalah KiaiKanjeng mulai memasuki panggung, menempati posisi masing-masing. Kemudian Cak Nun menyusul, dan segera duduk paling depan di antara para vokalis KiaiKanjeng. Sementara itu, karpet merah yang memanjang ke belakang sudah dipenuhi para peserta rapim yang malam ini akan mengikuti uraian-uraian Cak Nun.
Setelah kemarin malam selesai beracara di kampung di pinggir kali Code Jagalan Yogyakarta, malam ini Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada di Bandung. Tepatnya di Ballroom Hotel Nexa jalan WR. Supratman Bandung untuk memenuhi undangan Telkom Property yang tengah mengadakan Rapim I 2016. Sudah dua kali Telkom Property mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng, dan malam ini Cak Nun diminta memberikan pemaparan mengenai olah ruh dan olah rasa.
“Tugas saya abstrak. Ini kalau dibikin sulit ya sulit. Tapi kalau dibikin mudah ya bisa. Yas-alunaka ‘ani ruh, qulil ruhu min ‘amri robbi wa ma uutitum minal ‘ilmi illa qalila. Mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, ruh itu dari (urusan) Rabb, dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit. Berdasarkan ayat ini, kita punya cukup software untuk mengakses ruh. Yang paling jauh hanya menangkap gejala atau indikator-indikator yang mengarah atau menunjuk ke ruh. Tapi kalau mau dibikin mudah, bisa dipakai pendekatan lain. Bumi atau tanah yang luas. Juga alam semesta yang lain itu sebenarnya ‘Roh Allah’ tetapi dalam wujud tajalli-Nya. Jadi sudah melalui transformasi. Ada roh yang terdeformasi secara cepat menjadi bigbang. Ada yang kemudian menjadi planet. Ada yang dari roh menjadi suatu wujud butuh waktu yang lama. Ada pula yang sangat singkat, menjadi benda. Intinya adalah deformasi Roh lalu ditajallikan. Allah sebagai Roh dengan R besar, lalu ada roh-roh kecil yang lain yang tertransformasi menjadi padatan-padatan, atau sifat-sifat materi lainnya. Tajalli juga terbentuk berdasarkan rumus-rumus Allah sendiri, seperti ruang dan waktu,” papar Cak Nun di awal, sebelum musik KiaiKanjeng berbunyi. Cak Nun ingin menuntaskan poin-poin mendasar terlebih dahulu.
Dari roh kemudian ke rohani. “Anda semua mengelola aset-aset Telkom yang begitu banyak. Apa yang ada pada diri kita itu perlu dirohanikan kembali. Dirohanikan kembali itu maksudanya, uang atau apapun yang kita miliki, kita gunakan untuk suatu manfaat, untuk menciptakan kemanfaatan”. Cak Nun lalu melengkapi pemaparan mengenai roh-rohani ini dengan menjelaskan pentingnya manusia memiliki kesadaran akan jarak dan batas. Orang yang tau batas dia akan lebih selamat dibanding yang bukan. Cak Nun mengajak para pimpinan ini untuk menikmati keterbatasan dan jangan menyembah kemerdekaan, kecuali kemerdakaan itu dipakai untuk menentukan batas.
Rapim Telkom Property ini dihadiri oleh dua ratus pimpinan atau direksi Telkom Property di seluruh Indonesia. Telkom Property sendiri adalah salah satu perusahaan Telkom Indonesia yang meng-handle dan mengelola aset-aset Telkom di seluruh Indonesia, termasuk Hotel Nexa ini yang merupakan hotel pertama yang dimiliki Telkom Property. Sebagian dari pimpinan ini masih berusia sangat muda. Cak Nun sendiri sudah sangat sering diminta berbagai top management perusahaan untuk menyuntikkan wawasan dan vision agar para pemimpin perusahaan memiliki karakter yang kuat dan visioner. Dan Cak Nun biasanya meletakkan semua itu dalam kesadaran nasionalisme sejati bahwa mereka adalah bagian dari bangsa yang besar, bangsa Nusantara, bangsa Garuda, bangsa yang berjaya dalam sejarah yang sangat panjang. Para pimpinan perusahaan ini hendaknya melakukan sesuatu sebatas lingkup kebutuhan perusahaan, melainkan harus jauh bervisi Nusantara ke masa depan. Mereka perlu menyicil tahapan-tahapan menuju masa depan Nusantara dengan view yang lain sama sekali dari yang dibayangkan selama ini.
Para pimpinan Telkom Property, yang malam ini serempak mengenakan baju putih, kendati dalam suasana informal dan duduk lesehan sangat serius menyimak pemaparan Cak Nun. Dari soal jarak dan batas, mereka diajak langsung menikmati empat nomor lagu dari empat vokalis KiaiKanjeng: Shalawat Madura (Mbak Nia), One More Night Maroon 5 (Mas Doni), Beban Kasih Asmara (Mas Imam Fatawi), dan Asyhadu Alla ilaha Illallah (Mas Islamiyanto). “Silakan anda nikmati lagu-lagu mereka untuk belajar batas dan jarak dari lagu, nuansa, irama, dan nada pada lagu-lagu yang berbeda itu,” ajak Cak Nun.
Boleh dikata sangat jarang, suatu sesi rapim diisi oleh muatan yang serius mendalam sekaligus persembahan musik yang berfungsi melengkapi atau menjadi contoh ilmu selain bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Saat Cak Nun menyampaikan perspektif-perspektif, semua serius menyimak. Beberapa direktur Telkom yang duduk baris depan pun terlihat penuh antusiasme menyerap apa-apa yang disampaikan Cak Nun. Tampaknya beliau-beliau ini sudah punya chemistry tersendiri kepada Cak Nun. Salah seorang di antara bapak-bapak dari Telkom Property itu sebelum acara mengatakan, “Sejak pertemuan pertama dengan Cak Nun, Cak Nun sudah tahu apa yang harus disampaikan kepada kami”.
Salah satu yang prinsipil dan ideologis diingatkan kembali kepada mereka bahwa kita ini adalah bangsa pemimpin dunia. Batas “imajinasi” mereka hendaknya tidak seluasan wilayah perusahaan tetapi jauh sebangun dengan kelas dan kaliber bangsa Indonesia. Bangsa yang dengan segenap potensi, kelengkapan, dan ketinggian peradabannya, mampu memimpin dua bukan dengan kekuasaan dan apalagi penguasaan melainkan dengan kepengasuhan.
Cak Nun mengingatkan bahwa saat ini kita adalah generasi yang beruntung kalau masih tahu bahwa kita ini adalah burung garuda, walaupun saat ini terpuruk menjadi cicitnya emprit. Suatu kesadaran yang sudah digugahkan Cak Nun bertahun-tahun lamanya kemana-kemana di seluruh Indonesia. “Emprit” juga gambaran kesempitan. Pada soal pemahamaan keagamaan, kesempitan anehnya justru banyak ditebar-tularkan oleh kelas menengahnya. Kelas yang seharusnya mentransformasikan masyarakat grass root menuju ketinggian ilmu dan keluasan-kearifan jiwa. Mereka malah sibuk ber-WA dan menyebarkan ajakan sempit seperti “jangan menyingkat assalamu ‘alaikum dengan ass karena artinya adalah pantat, atau jangan menyebut tuhan tetapi harus Allah karena di al-Quran tidak ada kata tuhan, dan lain-lain”. Cak Nun mengajak kelas menengah yang hadir di ballroom ini untuk tidak ikut-ikutan menjadi bagian dari kesempitan berpikir. Itulah sebabnya tadi mereka diajak mendengarkan beberapa nomor KiaiKanjeng yang ragam dan varian dari segi musikalitas maupun konteksnya. Keluasan itulah yang menyebabkan KiaiKanjeng bisa bermusik di berbagai belahan dunia dan diterima dengan penuh kejutan resepsi dan persepsi. Sebab ada suara dunia dan harapan akan masa depan yang terbunyikan dari aransemen-aransemen KiaiKanjeng.
Sedikit kembali ke soal roh, Cak Nun mengatakan bahwa sebenarnya kita ini lebih banyak mengira-ira atau menduga. Kita punya banyak istilah seperti roh, jiwa, sukma, nyawa, belum hati nurani, sanubari, dan lain sejenis. Termasuk otak kanan dan otak kiri. Tetapi kalau harus dipegang secara objektif yang mana jiwa atau sukma sebenarnya tak bisa juga. Tetapi hal-hal yang abstrak itu pun ada persambungannya dengan hal-hal praktis dalam hidup kita.
Selain untuk mengantarkan pada contoh keluasan, musik-musik KiaiKanjeng ini juga dibawakan untuk mengingatkan bahwa para pimpinan Telkom Property ini sudah sangat enak dengan segala pekerjaannya karena matematikanya jelas. Tetapi di sisi lain, keluasan hidup, keluasan alam semesta, juga mesti mengantarkan kita bahwa sesungguhnya kita ini kecil. “Betapa kecilnya kita ini, maka satu-satunya jalan adalah menikmati kebesaran Allah,” tegas Cak Nun.
Mas Imam Fatawi, salah seorang vokalis KiaiKanjeng, “agak laku” malam ini. Setelah muatan-muatan ilmu dan pemikiran, Cak Nun menawarkan lagu apa untuk dibawakan. Campursari? Dan semuanya menyahut mengiyakan. Mas Imam pun memborong lagu Sewu Kuto dan Perahu Layar. Bapak-bapak direktur Telkom Property yang di depan diajak nyanyi bersama. Mas Imam mendekat, mengulurkan mic, dan bergantian bernyanyi. “Jika kita mengalami sesuatu yang berat, sulit, dan menyerap energi, niatilah segera sebagai puasa. Niatilah sebagai tabungan untuk anak-cucu kita. Dan kalau kita puasa, pas saat lebaran kita merasakan nikmat. Seperti lagu campursari yang barusan, terasa nikmat karena dinyanyikan setelah kita sejak awal tadi banyak menyelami muatan pemikiran yang mendalam. Lain kalau dibawakan sejak awal, tak ada konteks dan sejarahnya,” ujar Cak Nun.
Membekali semangat kerja dan inovatif para pimpinan ini, Cak Nun menyampaikan bahwa ada yang bernama hidayah, karomah, maunah, dll dengan prinsip utama bahwa sesungguhnya wahyu atau informasi Allah itu bersifat utuh dan bulatan. Allah terus-menerus menaburkan hidayah-Nya. Aslinya tidak ada terus-menerus, tetapi sekali, hanya perspektif manusia yang menyebut terus-menerus. Maka dalam perspektif terus-menerus itu yang harus dilakukan manusia adalah meningkatkan cara kerja otak atau software kita sehingga makin kompatibel dengan kualitas-kualitas informasi dari Allah.
Mengakhiri pertemuan pada malam hari ini, Cak Nun mengajak semua hadirin khusyuk berdoa, dan diantarkan oleh Ya Allah Ridho yang dilantunkan oleh Mbak Yuli. Semua hadirin menundukkan kepala, Mbak Yuli pun beberapa kali sesenggukan, dan terhenti menahan desakan tangis kedalaman jiwa khusyuknya.