Jika saja ada dua orang berjalan bersama lurus, bisakah kita memberi nilai atau menentukan bahwa kita memang benar-benar lurus? Telah diketahui bersama bahwa Bumi itu bulat, maka pertanda bahwa perjalanan lurus kedua orang tersebut benar-benar lurus, jika keduanya sama sama sampai pada titik awal dimana mereka memulai perjalanan. Saat ditengah perjalanan, tidak mungkin salah satu mereka mengklaim lurus. Klaim lurus saat perjalanan hanyalah sebuah klaim, yang belum tentu terbukti lurus. Maka, sama-sama pejalan dilarang saling ngrapoti. Jika saja ada garis pertolongan yang telah terbukti lurus mengitari bumi, maka kedua orang tersebut cukup melangkahkan kaki dengan cara menyejajarkan dengan garis pertolongan tersebut. Tapi tetap saja, hasil akhir akan diketahui saat perjalanan selesai, yakni saat satu putaran.
Lurus, dalam alquran salah satunya diwakili oleh kata Mustaqim. Mustaqim satu akar kata dengan Istiqomah. Mungkin tidak tepat betul memaknai mustaqim dengan kata lurus, lebih sesuai dengan kata “jejeg”. Padahal “jejeg” lebih berdimensi vertikal ketimbang horisontal. Kita membayangkan jika benda yang “jejeg” menjulang ke atas, menuju kemanakah itu? Itulah jalan Tuhan? Belum beranjak kita memakai matapandang fisik, tentu ke atas adalah menuju ke langit. Apakah langit itu? Langit hanyalah batas pandang kita. Bisa saja kita dari bawah melihat benda yang jejeg ke atas telah sampai menyentuh langit, tapi saat kita benar-benar ke ujung atas benda tadi, ternyata ruang perjalanan masih belum berakhir. Kapan sampainya? Bisakah anda bayangkan berakhirnya perjalanan “jejeg” itu ke atas?.
Dua paparan saja mengenai lurus, baik dipandang sebagai perjalanan horisontal di bumi, maupun perjalanan vertikal ke langit, sepertinya sama-sama mengandung makna bahwa “Lurus, Jalan Terus!”. Bisa jadi inilah ayat kepada kita bahwa jalan kebenaran bukanlah jalan berkesudahan. Belum lagi ketika kita membahas lurus dengan matapandang spiritual, sebagai salik (pejalan). Dan perlu diketahui juga bahwa kata Mustaqim, satu akar kata dengan Istiqomah. Boleh lah kita maknai istiqomah sebagai “ajeg”. Dari akar kata saja, bisa kita jadikan asumsi bahwa jalan “Mustaqim adalah jejeg dan ajeg”, jalan yang panjang dan tidak mudah, bagaimana mudah? Kita tidak tahu kapan kita benar benar lurus, bisa jadi kita hanya merasa lurus.
Ihdinashirothol Mustaqim…setiap hari kita ucapkan dalam sholat kita, sebagai tanda dan pengakuan bahwa kita selalu butuh bimbingan terus menerus. Di Maiyah, kita kenalkan cara pandang baru tentang kebenaran, bahwa kebenaran itu cakrawala, apa saja yang sekarang kita anggap sebagai kebenaran hanyalah sebuah “kebelumsalahan”, dalam perjalanan pencarian kebenaran, belumsalah yang kita pegang akan runtuh menjadi salah ketika kita menemukan kebelumsalahan baru yang lebih “presisi”.
Gambang Syafaat edisi bulan Februari seakan meneruskan episode sebelumnya, yakni dipikir karo mlaku, setelah “mlaku” dengan tafakkur dilakukan, maka episode setelahnya adalah istiqomah, jalan terus .. sebab itulah jalan yang lurus … Al Mustaqim. [GS]