LIBURAN DARI aktivitas sehari-hari menjadikan warga Jakarta memobilisasi dirinya untuk keluar menuju daerah-daerah sekitarnya sekedar untuk berwisata. Bogor, Bandung, Bekasi, Tangerang dan berbagai tujuan lain menjadi sasaran warga ibukota, hanya untuk lari sejenak, dan yang paling penting liburan keluar Ibukota. Break dari kesibukan kantor, rehat dari rutinitas yang menguras tenaga dan pikiran. Melampiaskan penat suasana tertekan dengan memburu hiburan, melupakan beban pekerjaan. Long weekend jadi kesempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk liburan, melipur kesibukan nasional dengan kebahagiaan libur nasional.
Kemakmuran, kesejahteraan tergambarkan dengan hamburan kendaraan-kendaraan yang turut memeriahkan prosesi kemacetan. Mall-mall, pusat perbelanjaan dan lokasi wisata dipenuhi pengunjung peserta liburan. Berduyun-duyun pemburu hiburan pemuja kemewahan rela antri berjam-jam dalam kemacetan. Terik mentari, panasnya udara dan polusi sepanjang jalan teredam oleh kaca-kaca mobil dan hembusan sejuk udara buatan dari AC, bising suara mesin-mesin kendaraan tersamarkan oleh alunan musik dari sound system didalam kendaraan.
Sementara Jakarta ditinggalkan, sementara hiruk-pikuk kesibukan DKI dilupakan, identitas sebagai warga ibukota sementara ditanggalkan digantikan menjadi peserta liburan nasional. Bahwa saat ini hati warga Jakarta sedang diperebutkan oleh orang-orang yang mulai menghangatkan bursa gubernur nyatanya luput dari perhatian, terslimur suasana liburan. Selama liburan, warga Jakarta nyaris tidak mempedulikan sosok gubernur, apalagi memusingkan sosok ideal pemimpin Jakarta. Begitupun usai liburan, warga Jakarta akan lebih hanyut dalam kesibukannya masing-masing ketimbang mengurusi soal kepemimpinan di DKI. Dan sepertinya yang dibutuhkan warga Jakarta lebih kesoal ketersediaan fasilitas umum yang nyaman, kemudahan pengurusan administrasi dan modernisasi birokasi, bukan kebutuhan akan adanya sosok seorang Pemimpin Jakarta. Kalau hanya soal itu memang sudah menjadi kewajaran tugas seorang gubernur, sedangkan kapasitas kemampuan seorang Pemimpin Jakarta semestinya lebih dari sekedar itu.
Kepemimpinan Jakarta semestinya memiliki kemampuan untuk memimpin hati dan prilaku warga Jakarta. Mampu melestarikan budaya Betawi ditengah banjir kebudayaan dari luar Jakarta. Dia seorang Jawara yang berwibawa, adil dan bijaksana. Keberadaannya disegani oleh setiap pendatang dan ditaati oleh setiap warga Jakarta. Dia tidak minta dipilih, namun siapapun warga Jakarta akan mengakui kepemimpinannya. Pemimpin Jakarta adalah dia yang mampu melayani sang Ibukota Negara Indonesia, walupun Ibukota mengabaikan, tidak menyadari keberadaanya. Pertanyaanya, siapa yang memiliki kemampuan semacam ini untuk memimpin Jakarta? Apakah untuk menjadi gubernur Jakarta harus memiliki kemampuan semacam itu?
Tidak hanya di Jakarta, diseluruh penjuru wilayah Indonesia nyaris tidak ada lagi kepemimpinan semacam ini. Nyaris tidak ada panutan yang layak memimpin dengan kepemimpinan semacam itu. Sebaliknya, masyarakat saat ini juga lalai bahkan tidak merasa perlu akan keberadaan kepemimpinan yang sejati ditengah masyarakat. Sama halnya dengan Negara yang semakin tidak mampu membedakan antara investor, pedagang, politisi dan Negarawan. Indonesia saat ini sedang tidak mampu membedakan yang mana parang, yang mana pedang, yang mana pusaka. Libur kepemimpinan nasional berkepanjangan berakibat masyarakat semakin lelap tertidur dalam buaian kesejahteraan konsumerisme, libur kepemimpinan nasional semakin menterlenakan masyarakat dari hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat nasional akhirnya hanya mampu bermimpi mendapatkan pemimpin yang sebenarnya hanya membuat masyarakat semakin terlelap dalam tidur. Media-media nasional menjadi kasur-kasur empuk yang terus menerus menyajikan hiburan-hiburan adegan pencitraan. Mimpi basah demokrasi dialami masyarakat yang sesekali mengigau atas kemenangan tokoh-tokoh dalam sinetron-sinetron politik yang ditontonnya. Indonesia semakin terlelap dengan hero-hero yang melanggengkan liburan kepemimpinan nasional.
Sampai kapan Indonesia terus terlelap dalam tidur nasionalnya? Sampai kapan warga negara menyadari sirnanya pusaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sampai kapan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dapat terwujud? Sedangkan kerakyatan kita tidak dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, sedangkan penghianatan pada persatuan Indonesia terus dilakukan, sedangkan kemanusian kita digadaikan dengan persaingan-persaingan saling mengalahkan, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa dikesampingkan.[AS]