Jaman dulu, sebelum banyak media telekomunikasi, sebelum lancarnya sarana transportasi, info tidak datang sendiri, info dicari. Kalo keluarga yang anggotanya bertebaran di berbagai wilayah kota, saat berkumpul, mereka saling menanyakan info, berbagi cerita. Tentu info yang dibicarakan bisa info yang ringan bisa juga info yang berat. Jaman berubah, sekarang hampir semua keluarga punya televisi, bahkan sekarang hampir semua orang punya handphone. Dan dimulailah era pasar bebas info. Info tanpa assalamualaikum, mondar mandir masuk ke kehidupan kita baik melalui televisi, media lain dan utamanya adalah lewat smartphone. Berbagai saluran medsos menjadi jalur info, semua info tanpa ada proses verifikasi.
Padahal info yang datang ke kita tingkat kebenarnya bermacam-macam. Di maiyah kita mengenal udzunul yaqin, ilmul yaqin, ainul yaqin, haqqul yaqin dan ruhul yaqin. Media Sosial tidak punya standar info dengan kualitas kebenaran mana yang disebarluaskan, malahan bisa jadi ada gelombang besar yang sengaja menyebarluaskan info tertentu untuk menembus alam bawah sadar kita untuk mereka kuasai.
Melalui mekanisme informasi-persepsi-konklusi-aksi, info yang kita peroleh langsung tidak langsung adalah salah satu bahan dalam membangun persepsi kita tentang sesuatu. Persepsi kita mau tak mau akan melatarbelakangi pengambilan keputusan kita atas suatu masalah. Dan ujungnya, perbuatan sadar kita (aksi) adalah pengejawantahan dari keputusan yang kita ambil.
Dalam teori database, garbage in garbage out, jika info/data yang masuk adalah data sampah, maka keluarannya pun berupa sampah. Media social tidak punya pagar, maka kita tinggal memilih apakah kita akan menjadi manusia yang hati-hati (taqwa) ataukah sembrono (fujur) ketika masuk ke pasar bebas info.
Jika kita sembrono asal melahap semua info tanpa melakukan manajemen ritme, manajemen filtering maka yang terjadi adalah kemlekeren info. Bagaikan orang yang memakan mie tanpa takaran sehingga orang tersebut justru mendapatkan kemudhorotan karena makan yang tanpa manajemen. Info adalah bahan untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan, bukan sebaliknya menjadikan kita menjadi bodoh dan memperoleh ketidakbenaran karena sikap yang salah terhadap info yang tersedia secara prasmanan.
Sihir media social bisa mengancam generasi muda yang kemlekeren info. Menyihir mereka menjadi merasa pintar, menjadi buas, menjadi cepat dewasa, tanpa mereka tahu bahwa mereka sedang disihir.
Gambang Syafaat edisi Mei 2016 mencoba urun kewaspadaan dalam menghadapi pasar bebas info di media social agar tidak terjadi apa yang diistilahkan sebagai kemlekeren info. Kalo jaman dulu, siapa yang paling cepat mendapat info, dialah yang menang, sekarang tidak demikian, bisa saja yang pertama mendapat info dialah yang pertama dikalahkan. Selamat Berdiskusi!