Malam ini Kenduri Cinta edisi Januari 2016. Bertepatan dengan tanggal 15 Januari. Seperti biasa warga ibukota sudah memadati pelataran Taman Ismail Marzuki untuk melingkar, duduk lesehan, bersiap ngaji bareng. Malam ini pula Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir lengkap, resmi dengan baju Maiyah putih-putih dan peci Maiyah, karena malam ini Cak Nun akan menghadirkan doa atau hizib baru Maiyah yang oleh Cak Nun diberi nama Wirid Wabal. Oleh karena itu, Kenduri Cinta pada malam ini mengangkat tajuk “Gerbang Wabal.”
Wirid Wabal ini dalam garis perjalanan panjang tajribah wirid dan doa-doa Maiyah merupakan kelanjutan dari doa Tahlukah yang sudah dihadirkan kepada jamaah pada 2013 lalu. Doa, wirid, shalawat, dan munajat adalah bagian tak terpisah dari dan merupakan salah satu wujud ilmu Maiyah yang menopang jalan dan laku Maiyah di dalam mengelola amanat-amanat kehidupan dari Allah, termasuk di dalam merespon atau mengasuh Indonesia dengan segala tingkat dan lekuk-lekuk masalahnya.
Wirid Wabal juga merupakan satu titik pangroso dan paningal Cak Nun atas kondisi zaman saat ini. Secara terminologis, Wabal berarti balasan bagi orang-orang yang melakukan penganiyayaan atau kedhaliman. Melalui wirid ini, Cak Nun, KiaiKanjeng, dan jamaah Maiyah memohon kepada Allah yang maha memiliki balasan bagi tindak dhalim manusia agar memberikan keselamatan bagi anak-anak cucu kita semua dan memberikan balasan bagi mereka yang secara individu, kelompok, maupun kolektif berbuat aniaya, yang tindak aniaya dan kedhalimannya sudah sangat keterlaluan dan berdampak luas.
Setelah rangkaian pengantar dari teman-teman Kenduri, pukul 22.00 Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada diatas panggung. Sangat banyak teman-teman jamaah yang mengkhususkan datang ke Kenduri Cinta malam ini dengan kesadaran yang lain dari biasanya. Ya mereka sudah mendengar bahwa malam ini Wirid Wabal secara “resmi” akan dihadirkan kepada jamaah Maiyah untuk kali pertama. Beberapa dari mereka juga sudah menyimak persiapan KiaiKanjeng dalam mengaransemen musikalitas wirid ini. Para jamaah datang dengan hati yang lebih khusyuk dan bersiap menerima wirid baru ini.
Tetapi sebelum itu, untuk melemaskan dan meregangkan otot-otot jamaah, Cak Nun meminta mas Doni membawakan One More Night-nya Maroon 5. Mungkin juga kali pertamanya lagu ini dinyanyikan mas Doni di KC. Lagu yang cocok dengan anak-anak muda kota, seperti Jakarta ini. Lalu disambung satu nomor dangdut Beban Kasih Asmara dari Mas Imam. Satu pilihan masuk yang pas dari Cak Nun untuk mengendorkan ketegangan publik Jakarta yang hadir malam ini yang salah satunya masih hangat oleh kejadian ledakan bom di kompleks Sarinah sehari sebelumnya.
Kemudian Cak Nun menjelaskan pelan-pelan mengenai apa sebenarnya doa atau wirid Wabal ini dan panduan di dalam melantunkannya, khususnya ketika dibacakan bersama-sama seperti pada malam ini. Selain bermuatan permohonan kepada Allah agar keselamatan diberikan teruntuk keluarga dan anak-cucu kita dan keadilan atau balasan bagi siapa saja yang telah berbuat dan menyebarkan kedhaliman berbentuk pemenderitaan, tipu daya, pembodohan, penyesatan, penggelapan dan bentuk-bentuk lainnya.
Selain itu melaui doa ini, jamaah diajak menyerap aura kekuatan dari La haula wa la quwwata wa la sulthona illallah. Caranya mereka bisa menyiap air minum di atas atau di depan panggung. “Ini bukan mistik, tetapi fisika biasa,” jelas Cak Nun berbarengan dengan segera para jamaah membawa maju botol-botol minum mereka. Harapan Cak Nun juga dengan doa ini, “Anda semua diberi kekuatan oleh Allah di dalam menghadapi masalah-masalah.”
Cak Nun membimbing jamaah untuk selama mendengarkan dan berdoa Wabal ini, mereka menyadari ketunggalan masing-masing sebagai individu sebab hakikatnya setiap individu itu tidak ada duanya. “Temukan dan sadari ketunggalanmu di dalam lingkungan terdekat, di dalam masyarakat, di dalam bangsamu. Jika masih ada lobang-lobang, mohonkanlah kepada Allah untuk ditutupi-Nya dengan kekuatan dari-Nya. Dan atas kedhaliman yang menimpamu, ucapkan Ya dzal wabal ya dzal wabal ya dzal wabal….”
Tetapi doa ini disusun dan dibawakan pula berdasarkan prinsip keindahan-keindahan, dan juga kemudahan. Cak Nun menjelaskan jamaah bisa melantunkan Ya dzal wabal dengan irama atau tempo yang berbeda tetapi semuanya menyatu dalam nada/lagu yang relatif sama sehingga ketika semuanya melantunkan menjelma suatu suara-suara kolosal yang membubung ke langit. Dan pada satu titik semuanya akan meneriakkan sekuat-kuatnya atau setinggi-tingginya Ya dzal wabal tersebut. “Teriakkan sekuat-kuatnya. Tetapi ini bukan teriakan kepada dunia, melainkan teriakan kedalaman tangismu atas penderitaan hidup ini.”
Pembacaan wirid Wabal pun segera dimulai dan dipimpin langsung Cak Nun diawali dengan surat al-Fatihah, suarat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, dan jamaah yang telah khusyuk sebelumnya, tak mengalami kesulitan untuk mempraktekkannya. Setelah membaca al-Fatihah dan shalawat, Cak Nun masuk pada doa Wabal: Bismillahi audzubika ya dzal wabali, bismillahi audzubika ya syadidal ‘iqabi, bismillahi audzubika ya dzal ‘adli wal qhisti, bismillahi shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta shodaqta. Suasana semakin khusyuk, jamaah menundukkan kepala, seraya bibirnya mengucap ya dzal wabal ya dzal wabal ya dzal wabal.
Setelah selesai doa Wabal, Cak Nun mentransisikan menuju doa Tahlukah yang teknis sudah diatur sedemikian rupa di mana Mas Islam yang membaca doa Tahlukah dibantu tiga orang dari penggiat KC untuk berbagi membaca ayat-ayat al-Qur’an, rangkaian doa, dan kalimat-kalimat sambung di dalam doa Tahlukah ini. Di awalnya, Cak Nun menyampaikan penghaturan doa ini. “Doa ini dihaturkan untuk situasi yang mendesak di dalam penderitaan yang panjang, untuk persoalan-persoalan yang besar tak kunjung terjawab, untuk keteraniayaan yang begitu lama. Ini juga ungkapan kesadaran bahwa terdapat begitu banyak masalah, tapi kita menyadari bahwa Allah memiliki ketentuan dan keadilan. Doa ini berangkat dari kesadaran bahwa pada akhirnya hanya bisa mengeluh kepada Allah. Doa ini wujud kerinduan yang mendalam kepada Allah untuk mewujudnyatakan keadilan-Nya atas berbagai bentuk kedhaliman. Doa ini juga ungkapan kerinduan akan lahirnya pejuang-pejuang baru kehidupan, dan Allah berkenan mengabulkannya.”
Selama rangkaian doa Tahlukah dibacakan, para jamaah melantunkan ya dzal wabal dalam ragam irama dan tempo yang tadi telah dipandukan. Ayat-ayat al-Quran yang dipilih terlantunkan dari bibir Mas Islamiyanto bersama 3 orang teman jamaah, kemudian doa-doa Tahlukah lebih banyak dibawakan Mas Islamiyanto. Hampir satu jam lamanya, do’a Tahlukah ini bersama-sama dihayati. Jamaah semuanya yang duduk maupun berdiri memasuki kedalaman dan kekhusyukan. Dan bagian akhir terlantun Innama amruhu idza aroda syaian an-yaquula lahu kun fayakun dan bersama-sama memuncakkan ya dzal wabal.
Usai membaca Al-fatihah menutup doa Tahlukah ini, Cak Nun menegaskan bahwa doa ini bukan berangkat dari keinginan atau harapan agar Allah menghancurkan sesuatu melain dari akhlak kasih sayang. Jangan ada satu pun yang hancur. Juga bahwa doa Tahlukah maupun wirid Wabal tadi sama sekali tidak berangkat dari rasa benar sendiri tapi bentuk kerinduan kepada Allah untuk bersikap kepada para penyebar kegelapan, pembodohan, dan penderitaan.
Memasuki sesi berikutnya, Cak Nun mengundang Syekh Nurshomad Kamba ke panggung. Syekh Kamba menceritakan pada saat diminta mengoreksi Sohibu Baiti yang ditulis Cak Nun, beliau tidak mungkin mengoreksi karena itu ditinjau dari kajian tasawuf adalah bentuk pewahyuan Allah kepada Cak Nun. Adapun mengenai kritik terhadap gramatikalnya yang seharusnya Ya Sohiba Baiti, Syekh Kamba menjelaskan bahwa secara hakikat Allah itu dekat. Dalam gramatikal Arab, menggunakan kata panggil “Ya” mengasumsikan bahwa Allah itu jauh. Itu juga dilakukan Ibnu Ato’illah Assakandari. Begitu juga pada malam ini ketika diminta memberikan koreksi kepada Wirid Wabal, Syekh Kamba juga tidak mungkin mengoreksinya dengan alasan yang sama.
Dialog Syaikh Kamba dengan Cak Nun mencerminkan ketawadhu’an seseorang yang sangat berilmu kepada seseorang yang dianggapnya lebih berilmu. Syaikh Kamba adalah salah satu marja ilmu-ilmu Maiyah. Salah seorang mursyid thariqat dan bertahun-tahun mendalami tasawuf di Universitas Al-Azhar Mesir hingga meraih doktor di bidang tersebut. Setelah menjelaskan ketidakmungkinan dirinya mengoreksi wirid yang Cak Nun barusan hadirkan, Syaikh Kamba menyampaikan agar Cak Nun berkenan mengijazahkannya kepada para jamaah. “Saya tak mungkin mengoreksinya. Saya menerima penuh. Dan kiranya Cak Nun berkenan mengijazahkannya. Wirid Wabal dan Tahlukah ini merupakan wirid yang paling menyifati Maiyah.”
Tetapi Cak Nun juga sosok yang rendah hati dan merendah. Beliau “mengendorkan” apa yang Syaikh Kamba sampaikan dengan ketawadhu’an tadi. Satu sikap yang menggambarkan keseimbangan hidup.
Lalu Cak Nun menggambarkan pemetaan bagaimana melihat Maiyah dari sudut thariqat dan ilmu. Dalam perspektif ilmu dan pesantren, Cak Nun menanyakan, “Apa yang menjadi ciri atau inti utama pesantren? Ilmunya atau gedungnya? (Ilmu, jawab jamaah). Nah artinya terletak pada dinamika dan berlangsungnya transfer ilmu dari seseorang kepada orang lain. Dan di dalam Maiyah, proses itu berlangsung terus-menerus, dan menyebar ke mana-mana, maka Maiyah bisa lebih besar dari pesantren.”
Belum lagi dilihat spreading melalui berbagai gelombang, mulai dari makin memadatnya simpul-simpul di berbagai daerah, jamaah-jamaah yang tersebar di berbagai negara, hingga santri-santri yang bertebaran di mana-mana yang sekonyong-konyong bisa nongol di hadapan Cak Nun ketika berhenti di warung, di pom bensin, di bandara, atau di mana saja.
Sesi dialog dibuka. Cak Nun membuka kesempatan kepada jamaah untuk mengemukakan pendapat. Beberapa jamaah akhirnya berbicara. Yang menarik selalu di dalam Maiyah, orang bertanya dalam nuansa otentik, enak, dan aman-nyaman. Terhadap penanya pertama, Cak Nun merespons, “Anda bersyukur bisa menyerap ilmu sedemikian rupa, matang, dan tenang. Para intelektual pun belum seberuntung Anda. Belum tentu mampu seperti Anda.” Cak Nun menjawab pertanyaan mereka dengan rileks dan logika yang ringan tapi kuat membalikkan logika baku mereka. Cak Nun bercerita, kerap sekali beliau dan mbak Via mampir di warung, makan dan ketika mau membayar, ehhh ternyata sudah ada yang membayari entah siapa, dan orangnya juga tak ingin ketahui oleh Cak Nun dan Mbak Via. Orang-orang itu pasti pernah bertemu saya entah melalui buku, ikut pengajian, atau melalui media lain. “Kalau Anda tanya apa target Maiyah ini, ya saya bilang, supaya saya ke mana-mana makan gratis,” ujar Cak Nun disambut geeer jamaah. “Kok angel sihhh sampeyan itu, nasionalisme itu nggak mesti seperti yang Anda bayangkan. Nasionalismemu itu sejauh daya jangkau Anda. Kalau jangkauanmu adalah keluargamu, ya itulah nasionalismemu. Kalau jangkauanmu masyarakat di sekitarmu, ya itulah nasionalismemu. Tetapi meskipun begitu, juga jangan selalu beranggapan seperti itu. Maiyah pun seperti itu. Tetapi lihat spreadingnya sekarang.”
Jamaah Kenduri Cinta memang unik. Barisan pertama adalah mereka yang duduk lesehan, kemudian mereka-mereka yang karena area depan panggung sudah penuh, mereka berdiri sampai di kawasan parkir mobil dan motor, dan yang terakhir sebagian dari mereka yang menyimak dengan duduk di atas motor, duduk di depan ATM-ATM yang ada di kompleks TIM, di bawah-bawah pohon, hingga di dinding kanan-kiri tugu TIM. Sela-sela mobil-mobil yang parkir juga tak luput ditempati. Semuanya penuh perhatian menyimak apa yang berlangsung di panggung. Kompleks pelataran TIM melalui Kenduri Cinta seperti malam ini menjadi public space dalam arti yang sesungguhnya, dengan muwajjahah yang diwarnai oleh kualitas-kualitas pembahasan, seperti misalnya tadi Cak Nun menjelaskan esensi agama, respon atas situasi terkini di Jakarta, dan soal-soal lain yang direspon secara siklikal dan mendalam.
Kualitas itu diperkaya pula oleh KiaiKanjeng. Di sela-sela diskusi itu, Mas Islam menghadirkan nomor lembut, penuh empati, dan membesarkan hati melalui lagu La tahzanu ya Habibie (Jangan Bersedih Duhai Kekasih) dengan suara yang mendayu dan mengayun-ayun hati. Lompat dari lagu yang lembut, Mas Imam menyambungnya dengan nomor lagu dinamis dan penuh harapan Putra Masa Depan. Dua nomor yang seakan mengatakan pada kita, janganlah bersedih, karena ada harapan di masa depan.
Selain Cak Nun dan KiaiKanjeng, yang hadir sebagai narasumber di antaranya adalah Syaikh Nursamad Kamba, Mas Sabrang, Pak Hartono Limin (penggagas kompleks 99 Masjid Dunia yang sudah beberapa kali hadir di Kenduri Cinta, dan menemukan Maiyah sebagai forum keummatan yang sama sekali belum pernah ditemuinya sebelumnya).
Setelah persembahan Gundhul Pacul dan Summer Time dari KiaiKanjeng bersama Inna Kamarie, giliran Sabrang merespon beberapa pertanyaan sebelumnya. Sabrang memulai dengan menguraikan teori Einstein E=MC² yang dihubungkan dengan pemahaman agama. Dasar keberadaan di jagat raya ini karena batas. Jika batas itu dihilangkan, maka yang ada hanya Tuhan. Waktu, ruang, grafitasi terjadi karena adanya batas. Sabrang melanjutkan, “Agama memberi batas bukan untuk membatasi keberadaan kita, tetapi untuk menyadari keberadaan kita sendiri.”
Sabrang dengan pemahaman Fisika dan Matematika yang mendalam menguraikan bahwa beda manusia dengan monyet hanya 1% namun sangat jauh pencapaiannya. Lalu jelas perbedaan manusia dengan Tuhan yang sangat jauh, maka jauh pula jarak kita dengan kebenaran. Kalau hanya memahami kebenaran hanya dari pengetahuan literer agama tentu sangat kurang.
Melengkapi uraian dari bidang Fisika, Sabrang memaparkan ilmu Allah dari sudut matematika. Menurutnya, matematika adalah pola yg bisa direfleksikan. Dengan pola dialog yang asyik ala Maiyah, Sabrang meminta jamaah menyebutkan angka dari 1 sampai tak terhingga. Angka-angka itu dianalogikannya sebagai cabang-cabang ilmu Allah. Kuncinya adalah jangan berhenti mencari. Simulasinya adalah, setiap angka yang diaebutkan, jika genap dibagi 2, jika ganjil dikali 3 lalu ditambah 1. Itu rumusan setiap nanti bertemu angka ganjil atau genap terus menerus jangan berhenti sampai akhirnya nanti pasti ketemu angka 4 dibagi 2 hasilnya 2, lalu 2 dibagi 2 dan hasil akhirnya pasti 1. Itulah ahad, itulah Allah. Setiap angka yang disebutkan, untuk menuju hasil akhir satu akan ada yang jalurnya panjang dan ada yang pendek. Sabrang menyimpulkan, agama adalah jalan paling cepat untuk mencapai pola 4-2-1 itu.
Ciri khas Sabrang memang mengeksplorasi sains, filsafat, dan ilmu dan di-cross referrence-kan dengan ayat-ayat al-Quran sehingga melahirkan penemuan-penemuan view atau sudut pandang yang unik, seperti tadi dikatakannya bahwa kalau agama tampak membatasi manusia, itu sesungguhnya bukan membatasi melainkan dengan batas itu menjadikan mereka sadar akan keberadaannya.
Memuncaki uraian-uraian di KC malam ini, Cak Nun meminta kembali Syaikh Nursamad Kamba untuk memberikan marja bagi pertemuan dan pemikiran di malam ini. Sangat mendalam dan mendasar apa yang disampaikan beliau mengenai hakikat agama. Di antaranya, agama itu cirinya mengajarkan kepada umat manusia dua hal, yaitu pemaknaan hidup dan kesejatian. Dari dua pintu ini, Syaikh Kamba menukik mengulas kekuatan agama sebagai transformator kualitas diri manusia, kesejatian yang wujudnya peniadaan diri, hingga orang yang egosentris tak mungkin memikirkan orang lain. Hawa nafsunya menjadi “tuhan”-nya. Dan bahwa orang ladunni adalah mereka yang mau berpikir tentang orang lain, bahkan ia mengabaikan atau tak peduli pada dirinya. Itulah wali, yang sikap sama seperti doa Nabi saat perang Badar: ‘in lam takun ‘alayya ghodhobun fa la ubali (Asalkan Engkau tak marah ya Allah, aku tidak peduli).
Selepas Syaikh Kamba menguraikan pemahaman mendasar mengenai agama, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk berupaya menjadi orang yang berada pada urutan posisi: tahu, paham, mengerti, bisa, mau, ikhlas, dan bahagia. Itulah yang oleh Cak Nun disebut sebagai “tujuh langit di dalam diri”. Hal ini dikemukakan Cak Nun terkait dengan apa yang dijabarkan Sabrang mengenai batas. Cak Nun mengajak semua jamaah untuk menikmati perluasan-perluasan sampai pada batas. Perluasan, bahkan kemerdekaan, tidak berarti tidak adanya batas. Maiyah ini satu bentuk perluasan terus-menerus di tengah penyempitan-penyempitan yang berlangsung. Karena itu Cak Nun menyatakan Maiyah adalah masa depan, di mana Indonesia hanyalah bagian darinya, sebab Maiyah akan diterima oleh orang dari/di berbagai belahan dunia.
“Opo iyo? Ya hidup mesti begitu. Ada pertanyaan seperti itu, supaya ada perluasan-perluasan,” ujar Cak Nun seperti mencegati keraguan yang mungkin muncul di benak jamaah membayangkan yang barusan disampaikannya.
Tak cukup waktu sebenarnya buat mewadahi hujan ilmu dari Allah, karena itu Cak Nun mengatakan apa-apa yang barusan disampaikan Syaikh Kamba dan Sabrang bisa langsung diimplementasikan menjadi topik-topik di Maiyahan pada waktu ke depan.
Jam menunjukkan tepat pukul 3:30 pagi. Subuh hampir tiba. Kenduri Cinta malam ini pun tiba di penghujungnya, ditutup dengan lantunan magis nomor Takbir Akbar dari Cak Nun dan KiaiKanjeng.