PERTAMA KALI mendedah penggunaan “La Raiba Fih”, penggalan ayat (2) dari Al Quran surat Al Baqoroh, berbunyi “dzalikal kitabu La Raiba Fih, hudalill muttaqien.” Cak Nun, dalam permenungannya yang tertuang di buku Demokrasi La Raiba Fih, Penerbit Buku Kompas, 2009. Dimana demokrasi, pada tahap tertentu sama dengan pemaksaan makna pada Al Quran. Artinya, tidak ada keraguan.
Demokrasi itu harga mati dan kebenaran sejati. Demikian satir Cak Nun. Dimana dengan dalil demokrasi yang tidak ada keraguan padanya itu (La Raiba Fih) secara epistemologis ditafsirkan Cak Nun, sering disalah gunakan oleh manusia demi keuntungan dirinya sendiri (selfish). Orang, terutama politisi atau partai politik bersuara hanya sebatas dorongan rugi laba, kepentingan dan kekuasaan semata. Bahkan, partai politik itu bisa seperti; “Ayam tak hanya pandai berkokok/Ia sanggup juga mengonggong, asalkan itu yang diperlukan//Anjing tak hanya siap mengonggong/Ia siap juga berkokok, asalkan itu yang menguntungkan.” (hal.60)
Menggunakan pisau analisis itulah, tema utama Maiyah Dusun Ambengan edisi April 2016 ini, mengangkat fenomena kaum ibu di perdesaan. Kiprah pahlawan-pahlawan keluarga, layak disuarakan sebagai tiang bernegara, penjaga kententraman perkampungan. Bertepatan untuk menyongsong 21 April yang diperingati sebagai Hari Kartini. Hari dimana tonggak perjuangan emansipasi kaum wanita mendapat pengakuan secara nasional.
Kartini, menjadi simbol perjuangan kaum perempuan di Indonesia sekaligus titik tolak perlawanan atas dominasi patriarki. Hari Kartini juga diperingati sebagai suka cita atas kemenangan, para pendukung kesetaraan gender, pejuang emansipasi dan kaum perempuan berkemajuan banyak melakukan aktivitas sebagai perayaan kultural pada Hari Kartini. Termasuk di dalamnya, Dharma Wanita, ibu-ibu PKK, membuat seremoni besar-besaran melalui kegiatan yang dibiayai pemerintah. Tentu, disertai memakai kebaya dan bersanggul. Begitu juga anak-anak sekolah, banyak yang menggelar karnaval dengan berbaju khas ala Raden Ajeng Kartini bagi pelajar putri.
Perayaan itu sah-sah saja sebagai letupan kegembiraan para pejuang emansipasi. Akan tetapi, di pelosok-pelosok perkampungan, para perempuan yang juga sudah jauh melampaui gagasan gender, emansipasi dan semacamnya, termasuk adanya upaya menggeser tujuan emansipasi ke ranah yang liberalism, sebenarnya sudah tak diragukan lagi kemampuannya, bukan sekadar setara dengan lelaki. Lebih banyak yang sudah melebihi. Dapat disebut, kiprah mereka juga sudah sangat La Raiba Fih.
Di desa, kesungguhan dan yang tidak bisa diragukan lagi kiprahnya menjaga ketentraman alam semesta adalah kaum ibu. Perempuan di perdesaan, mampu menggawangi kehidupan tanpa ada tuntutan persamaan, emansipasi, dan tetek bengek yang teoritik dan ndakik-ndakik itu. Sebut saja Yu Jumiyem, Mbok Rubiyah dan beberapa perempuan tangguh lainnya, mereka biasa membanting tulang untuk menafkahi keluarganya, tanpa sedikitpun permintaan pengakuan, aksi-aksi selebrasi untuk menunjukkan kemampuan, keunggulannya dibanding kaum lelaki. Mereka langsung memberi pembuktian lewat aksi konkrit.
Pukul 02.00 dinihari, sudah mengendarai sepeda motor menembus kabut. Menyusuri jalan-jalan poros untuk menjajakan pisang, sayur mayur dan berbagai hasil pertanian lain ke pasar yang jaraknya sekitar 20 km. Sebelum embun kering dan matahari masih semburat kemerah-merahan, mereka sudah sampai di rumah. Membawa lauk pauk dan kebutuhan lain. Membuat dan menyediakan sarapan untuk anak sekolah. Jika mulai musim tanam padi, ikut borongan buruh tandur di sawah. Fenomena kaum ibu semacam ini, lazim kita saksikan dan menjadi biasa saja di desa.
Ketika ditarik mundur era 90an ke bawah, mereka bahkan tak mengendari sepeda motor. Ada yang sudah memakai sepeda, dan banyak yang menggendong bakul, menjual hasil bumi ke pasar menembus kabut subuh dengan berjalan kaki.
Ada hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, beliau berkata. Seseorang datang kepada Rasulullah Muhammad SAW dan bertanya, wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi SAW menjawab, Ibumu. Dan orang tersebut kembali bertanya. Kemudian siapa lagi? Nabi SAW menjawab. Ibumu. Dan orang tersebut kembali bertanya, dan kepada siapa lagi? Dijawab Rasulullah SAW. Ibumu. Kemudian kepada siapa lagi, Rasulullah menjawab. Dan kemudian ayahmu. (HR Bukhari no.5971 dan HR Muslim no 2548).
Kenapa tema semacam ini penting dan layak diperbincangkan dalam majelis Maiyah Dusun Ambengan? Sebab peristiwa luar biasa macam ini, sering luput dari perhatian banyak orang. Lantas, bagaimana pandangan masyarakat dan agama? Hukum dan perjuangan kaum emansipatoris? Potret penghormatan pada ibu di perdesaan yang dipastikan ikut bekerja keras layaknya para ayah?
Ada kemungkinan, perjuangan dan kiprah kaum ibu di perdesaan semacam itu, bukan saja luput dari perhatian. Melainkan diabaikan dan ada yang berusaha melestarikan sebagai bagian hegemonik tanpa sadar. Tak diperhatikan, dampaknya pada para remaja putri kita yang hanya kenal Kartini lewat lagu wajib nasional yang lyriknya pun dihafal sekilas; “Pendekar bangsa, harum namanya.” Dan kemudian, berdampak pada tidak merasa malu jika selfie dengan memonyong-monyongkan bibir, merangkul pacarnya, mengunggah di medsos, justru gembira ketika banyak dikomentari puji-pujian absurd.
Persoalan semacam ini penting diperbincangkan karena jika dipolitisir, bisa memicu keresahan sosial yang pada fase tertentu menjadi pembangkangan kultural, sampai gerakan perlawanan yang ekstrem. Salah satunya, memilih jalan merantau ke kota sebab desa tidak ramah dengan kaum perempuan. Belum lagi, bujuk rayu ke kota yang hidup enak dan penuh fatamorgana, seringkali menjadi bius bagi perempuan desa, jadi racun laten yang memberangus moral kaum ibu.
Menilik sukses Grameen Bank di Bangladesh, M Yunus berhasil membangkitan perekonomian dan meningkatkan pendapatan keluarga dengan melatih dan memberi pendampingan pada kaum perempuan. Kemudian diadopsi menjadi bagian sistem di PNPM- MP dengan sebutan program Simpan Pinjam Perempuan (SPP), lalu berganti pemerintahan, diganti lagi jadi Program Keluarga Harapan (PKH). Kini, berganti lagi dengan subsidi ibu hamil. Apakah semua itu menyelesaikan persoalan?.
Maiyah Dusun Ambengan tidak berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan retorik itu ketika mengangkat tema Emansipasi La Raiba Fih. Melainkan hanya mengajak pada pelajaran dasar, pentingnya pendidikan dan kesadaran sebagai penyandang tiang negara bagi kaum perempuan. Mengetuk nalar dan nurani kaum lelaki yang sering tanpa sadar, meletakan kaum perempuan pada posisi suboordinat, konco wingking yang marginal dan layak ditindas.
Tepatnya, mengajak pada permenungan-permenungan ke dalam diri, sudah seberapa dalam takzim dan bakti kita pada Ibu? Pada perempuan di sekitar kita? Sekaligus mendedah perspektif kaum perempuan desa itu sendiri atas emansipasi yang sudah mereka lakukan tanpa teriak-teriak di ruang-ruang kolokium, seminar dan centil-centil di medsos yang entah untuk apa, untuk siapa dan mengapa.
Gelora perempuan desa, ketika bersatu dan meneriakkan tuntutan yang sama bisa sangat mengerikan dalam upaya menjaga harmonisasi alam. Kita sangat mungkin tertawa saat beredar meme-meme yang menyatakan, perempuan naik sepeda motor memberi sen ke kanan tapi belok ke kiri. Atau terpingkal-pingkal lihat meme, raja jalanan ada dua, yakni, ibu-ibu naik sepeda motor dan orang konvoi. Lalu, ada foto ibu-ibu naik sepeda motor sedang konvoi.
Masyarakat di perkotaan mungkin sudah tidak asing dengan perempuan karier, menjadi top manager, pejabat tinggi, dan semacamnya yang urusan anak sudah selesai dengan babysister, pekerjaan rumah rampung oleh pembantu. Di desa, persoalan itu menjadi kompleks. Sebab, kaum ibu masih mencari nafkah, mengurus rumah tangga, dan merawat anak. Lantas apa korelasinya dengan perempuan di negara maju yang mulai memilih jadi ibu rumah tangga, menanggalkan karier dan dunia kerja ketika sudah menikah dan punya anak?
Di kampung-kampung pedalaman, masih banyak perempuan yang baru lahiran, sehari kemudian berangkat ke pasar untuk jualan karena takut dagangannya busuk, ngeri tak bisa menanak nasi, dan sebagainya.
Keterhimpitan ekonomi, cepitan kemiskinan, serta berbagai belenggu kemelaratan yang membuat para ibu di dusun-dusun bekerja keras itu, bukan sekadar layak direnungkan dan dicari akar masalahnya, untuk kemudian dikajiurai agar ditemukan formula yang tepat sebagai solusi, habis gelap terbitlah terang yang esensinya permenungan RA Kartini atas ayat minnaldzulumati illanuur. Dari gelap menuju cahaya adalah tanggungjawab bersama.
Emansipasi, liberalisasi, feminisasi, menjadi gerakan yang acap ditautkan pada sosok Kartini sebagai tauladan. Meski perlu diperdebatkan sebab, setelah pertemuan dan mendalami ajaran Islam dengan Kiyai Soleh Darat, RA Kartini banyak memberi arah pada minnaldzulumati illanuur. Termasuk memperhadapkan antara budaya Islam dengan tradisi Eropa. Lewat korespondensi yang dibukukan itu, diberi judul bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht. Diterjemahkan Armijn Pane dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.
Perjalanan dari kegelapan (bodoh, miskin, jahiliah) menuju cahaya (berakal pikiran, cerdas, merasa cukup, berkemajuan) sangat tegas diterangkan dalam Al Quran pada Surat Al Baqoroh ayat 257. “Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya…” yang mulai didalami RA Kartini, termasuk menyuarakan pentingnya tidak menjadi orang gila, diajari membaca tapi tak mengetahui maknanya.
Pertanyaan-pertanyaan kritis RA Kartini itulah, yang kemudian mendorong Kiyai Soleh Darat menterjemahkan Al Quran dengan bahasa Jawa. Mari melingkar, mencari hakekat tentang realitas perempuan-perempuan desa masa kini, menengok secara detil sejarah dan perjuangan kaum perempuan. Tentu sembari gembira berdendang, mendengar lagu-lagu gubahan Kiai Kanjeng yang akan dibawakan Gamelan Jamus Kalimasada, pada hari Sabtu 16 April 2016 pukul 19.00 WIB di Rumah Hati Lampung, Desa Margototo, Metro Kibang, Lampung Timur.