Melanjutkan tiga malam berturut-turut Maiyahan sebelumnya, saat ini Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada di kampung Karah, Jambangan, Surabaya untuk bersama-sama masyarakat di sini Sinau Bareng memperingati Maulid Nabi Muhammad saw dan memperingati satu tahun berdirinya Mushalla An-Nashikhah Soeryati Soewandi yang berada di kampung ini.
KiaiKanjeng siap hadir di tempat manapun. Sangat sering beracara di alun-alun, lapangan, di pinggir pantai, dan di pegunungan. Dan malam ini, mereka berada di tengah perkampungan Surabaya yang cukup padat. Untuk sampai ke panggung, perlu masuk semacam gang sekitar seratusan meter. Lokasinya tidak terlalu luas, sehingga jamaah tak semuanya tertampung di depan panggung. Sebagian mengambil tempat di Mushalla an-Nasikhah yang berada di sisi kiri panggung. Sebagian lain yang ada di ujung kiri dari pandangan mata panggung dibantu dengan layar lebar. Bahkan juga ada yang menyimak dari gang yang berbeda, tentu dengan bantuan layar lebar pula. Yang di jalan raya Karah pun meluber. Dan sungguh indah bahwa semua jamaah itu sejak Mas Imam, Mbak Nia dan Mbak Yuli mengajak mereka bareng-bareng melantunkan doa khotmil Qur’an dan shalawat Nariyah, semuanya aktif mengikuti, khususnya adik-adik dari panti asuhan al-Hasan. Adik-adik ini patut mendapat apresiasi, karena sangat baik dalam mengikuti dua nomor KiaiKanjeng ini.
Dalam suasana siap yang telah dimulai dengan dua nomor KiaiKanjeng tadi, Cak Nun masuk naik ke panggung, dan disambut dengan teriakan shalawat Nabi. Beliau langsung duduk di tengah anak-anak panti asuhan al-Hasan, dan memulai menyapa jamaah. Senyumnya terkembang. Seperti biasa, beliau duduk iftirosy dengan posisi badan yang tegap, dan mulai memberikan landasan-landasan berpikir.
Terlebih dahulu Cak Nun mengapresiasi dan membesarkan hati seluruh jamaah yang hadir. “Anda berkumpul nglumpuk ini sebenarnya sudah lulus. Mugo-mugo mlebu Suwargo kabeh. Ojo gupuh opo-opo. Termasuk umpamane kepeksone ora iso sekolah duwur, gak popo, tapi tetap golek ilmu terus, sitik-sitik.” Dari situ Cak Nun mulai dengan pelan-pelan menuntun jamaah memasuki ilmu melalui analogi-analogi sederhana. Sebenarnya bukan analogi juga, tetapi sebuah proses belajar dari ayat-ayat kauniyah Allah. Berbeda dari pada Maiyahan sebelumnya, kali ini Cak Nun membawa mereka belajar kepada air dan es.
Air kalau didinginkan akan menjadi es, dan bila dipendam berabad-abad lamanya bisa menjadi akik. Nah, apa bedanya air dengan es? Es dapat di sigar atau dipecah-pecah. Sementara air tidak bisa. Itu memuat pelajaran: kuat manakah orang yang keras (atos) dengan orang yang lembut. Jamaah mulai mencerna. Lalu Cak Nun menarik garis bawah, “Makanya jangan gampang menuding-nuding, jangan gampang marah-marah. Perkara kita masuk surga atau neraka, itu hak sepenuhnya milik Allah.”
Selangkah lebih maju, Cak Nun bertanya, air dan es itu sebenarnya sama atau tidak. “Siji tho asline?” Nah, hidup juga demikian. Jangan mudah mengatakan orang itu keras atau atos, sebab sebenarnya yang terjadi adalah keadaan yang berbeda. “Ini sekaligus supaya kita semua paham dalam memahami Kanjeng Nabi Muhammad. Kapan saat nabi itu tampil sebagai air dan kapan tampil sebagai es,” jelas Cak Nun.
Lebih mendalam lagi, Cak Nun kemudian menguraikan bahwa kalau air itu direbus, ia akan menjadi uap (udara). Jika air dan es bisa dilihat, berbeda halnya saat air itu mendidih dan menguap, maka ia tak bisa dilihat. Itu berarti mata kita sangat terbatas. Hal itu mengandung arti kita tidak boleh gegabah dalam menilai manusia atau orang lain. Ada orang yang berbuat baik dan ia mungkin menyembunyikannya atau tidak memperlihatkannya pada orang lain, itu artinya pada posisi “uap”. Tak terlihat oleh umumnya orang, tetapi bukan berarti tak melakukan sesuatu.
“Mencari ilmu itu mudah, karena semua ini adalah ayat Allah. Ilmu Allah mblader akeh nengdi endi (banyak dan di mana-mana). Dengan belajar dari cair, padat, dan menguap, kita bisa memperoleh ilmu dan sikap hidup yang banyak,” tegas Cak Nun setelah mengajak jamaah mengambil cara berpikir. Pelajaran lain yang disampaikan Cak Nun adalah keseimbangan. “Hidup itu yang satu merendah, sementara yang lain menjunjung atau menghormati.”
Selanjutnya, menyambung ke Maulid Nabi Muhammad Saw, Cak Nun mengingatkan bahwa dalam memahami peran, perilaku, sikap, akhlak, dan keputusan-keputusan Kanjeng Nabi Muhammad, kita dapat melihat dan mempelajarinya dalam perspektif uap, es, dan air. Selain itu, saat memperingati Maulid Nabi, hendaknya kita tidak hanya mengingat sosok manusia agung yang terlahir dari Sayyid Abdullah dan Siti Aminah dan berusia 63 tahun, melainkan juga sampai kepada Nur Muhammad. Bahkan harus sampai pada kesadaran mengenai bagaimana Allah punya ide penciptaan akan alam semesta, yang didahului dengan diciptakannya Nur Muhammad.
Jamaah yang menghadiri Maiyahan selalu penuh antusiasme dan semangat. Saat ditanya, “Mau sampai jam berapa ini?”, langsung mereka menjawab, “terussss….”
Sampai saat ini, Maiyahan di kampung Karah ini berlangsung dengan padatan-padatan ilmu yang jelas, dan dengan hadirnya lagu-lagu yang dipilih dengan pertimbangan terciptanya kegembiraan, rasa syukur, dan terpacunya ilmu. Nomor-nomor KiaiKanjeng, terlebih saat hadir di tengah-tengah masyarakat seperti malam ini, dibawakan dengan diberi landasan mengapa lagu ini perlu dibawakan, dan tidak dibawakan berdasarkan urutan yang sudah disiapkan sejak awal. Kadangkala, sebuah lagu muncul karena merespons situasi aktual yang berlangsung. Mbak Nia mendapatkan tugas membawakan sebuah lagu qashidah seperti yang dibawakan saat di Maiyahan Sukodono, Sidoarjo kemarin malam. Dan saat mas Doni menyanyikan lagu Sebelum Cahaya-nya Letto, ini pun atas permintaan jamaah, langsung ia turun punggung, melangkah ke tengah-tengah jamaah, mengajak salah satu di antara mereka turut bernyanyi, dan suasana menjadi asik dan menggembirakan. Anak-anak putri panti asuhan yang sejak awal berada di panggung dan dilibatkan penuh oleh Cak Nun, ikut bernyanyi bersama. Saat kemudian Mbak Yuli membawakan nomor Kepadamu Kekasihku, adik-adik ini dilatih dulu seketika di panggung, supaya mereka bisa ikut menyanyikan nomor ini.
Pada nomor Kepadamu Kekasihku, yang mengungkapkan kerinduan dan cinta kepada Kanjeng Nabi, terlantun shalawat kepada beliau: Shalatullah salamullah ‘ala Toaha Rosulillah, shalatullah salamullah ‘ala Yaasin habibillah. Cak Nun menjelaskan, “Shalawat ini dibawakan, dilantunkan, dan dinyanyikan oleh orang sedunia, dan sudah berlangsung belasan abad, nggak ada habis-habisnya. Dan shalawat ini juga dapat dibawakan dengan lagu atau nada yang sangat beragam.”
Maiyah juga merespon kebutuhan akan pendidikan anak-anak. Adik-adik laki dari panti asuhan yang tadi sebelum KiaiKanjeng naik panggung mempersembahkan shalawat dan mahallul qiyam, kini diajak interaktif oleh Cak Nun. Mereka dipancing untuk punya kemandirian dan keberanian berekspresi. “Pendidikan itu ada kalanya berangkat dengan kebebasan, tapi juga ada kalanya dengan pancingan,” papar Cak Nun. Pun demikian dengan adik-adik perempuan yatim-piatu, diminta Cak Nun untuk berdiri semua, masing-masing diminta melantunkan surat-surat pendek Juz ‘Amma dengan keotentikan masing-masing pula. Sangat bagus bacaan mereka. Di tengah-tengah itu Cak Nun sempat mengingatkan, tak ada yang dicintai Rasulullah melebihi anak yatim-piatu. Kepada anak-anak ini, dengan simulasi-simulasi sederhana Cak Nun membangkitkan kekuatan pribadi anak-anak ini. Sebuah metode yang kadangkala tak terpikirkan oleh pendidikan formal.
Berbarengan dengan simulasi ini, Cak Nun memandu anak-anak yatim dan pengasuhnya untuk mengungkapkan aspirasi atau apa-apa yang mereka butuhkan, supaya diketahui dan nanti bisa direspons salah satunya oleh Pak Wiwid yang sejauh ini telah membantu terealisasinya musholla an-Nashikhah, berikut beberapa pengembangannya. Prinsipnya, Cak Nun mengajak semua masyarakat di sini cancut taliwondo mendukung pengembangan pendidikan anak-anak yatim piatu ini, mengupayakan kebutuhan-kebutuhannya mulai dari perpustakaan, laptop, poliklinik, dan lain-lainnya. Dan untuk mensyukuri apa-apa yang sudah dicapai di kampung ini, Cak Nun mengajak adik-adik yang perempuan ini untuk memimpin satu nomor shalawatan yang bisa dilantunkan bareng-bareng dengan jamaah. Sungguh mengharukan, anak-anak ini menguasai cukup banyak shalawatan dan terampil membawakannya. Dari bibir mereka terlantun, “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammadin Thibbil Quluubi wa dawa-iha wa ‘aafiyatil abdaanin wa syifaaiha wa nuuril abshoori wa dhiyaiha wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallim.”
Sementara itu, anak-anak yang laki-laki juga kebagian membawakan satu nomor. Mereka mau bawakan “Lir-ilir” dan akhirnya Cak Nun melatih mereka menyanyikan ilir-ilir aransemen KiaiKanjeng, dan bareng-bareng mereka diajak melantunkannya. Anak-anak yatim ini benar-benar menjadi bagian integral dari Maiyahan malam ini. Di tengah interval “Ilir-ilir” ini, Cak Nun berdoa dengan suara yang lantang. Hadirin seluruhnya masuk ke dalam atmosfir dan rohani shalawat Badar dalam nada “Ilir-ilir” ini. Anak-anak itu mengeluarkan suara murninya, berjajar berdiri, menggerakkan badan, tetapi hatinya khusyuk untuk Allah dan Rasulullah. KiaiKanjeng mengiringi juga dengan kekuatan musikal yang penuh.
Butir-butir ilmu kehidupan dapat kita petik dalam Maiyahan malam ini. Butir-butir ilmu yang tak semata dari paparan-paparan Cak Nun, tapi juga peristiwa-peristiwa yang berlangsung, juga suasana, nuansa, rasa, dan gelombang-gelombang yang dapat kita rasakan dengan sensibiltas kedalaman hati. Cak Nun menegaskan, “Saya ke sini supaya Anda cair dan jernih, supaya kalau melihat apa-apa itu luas dan ombo….”
Beberapa hal lain sempat diingatkan Cak Nun. Di antaranya, kita semua harus menyadari bahwa penjajahan yang berlangsung pasca 1945 adalah penjajahan hati, iman, dan pikiran. Setiap yang anda dengar dan lihat, dari aneka media, di dalamnya terkandung unsur-unsur penjajahan. “Karena itu, kalau mendapat apa-apa dari grup-grup WA (whatsapp), media sosial, atau media lainnya, jangan langsung ditelan. Gunakanlah ilmu untuk mengunyah, mencerna, dan mengolah informasi.”
Sempat pula Cak Nun menjelaskan ihwal anjuran merapikan dan merapatkan shaf shalat berjamaah, agar celah-celah yang ada tidak ditempati setan. “Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa setan itu bukan makhluk yang membutuhkan ruang dan volume, karena setan bisa langsung masuk ke dalam aliran darahmu.”
Bergeser dari kebersamaan dengan anak-anak yatim tadi, kesempatan dialog dibuka oleh Cak Nun untuk para jamaah. Bola ilmu ada di tangan jamaah. Mereka mengumpan atau menendang, Cak Nun akan meresponsnya. Seorang ibu pengasuh anak-anak yatim panti asuhan Al Hasan ini bertanya dan mengemukakan curhatannya, mengenai tugas sehari-seharinya. Ada di antara anak asuhnya yang mengalami “penderitaan” akibat kondisi keluarga dan pendidikannya, dan si ibu menampung dan mendengarkan kegelisahannya. Cak Nun mengapresiasi si ibu yang sehari-sehari mengajar musik dan shalawatan, bahwa Cak Nun yakin ibu mendapatkan kemuliaan dari Allah. Lalu Cak Nun teringat akan sabda Rasulullah, bada’al islamu ghoriiba, wa saya’udu ghoriiba, fatuuba lil ghuraba (Islam bermula dari keterasingan, dan berjalan dalam keasingan, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing). “Ibu termasuk orang yang ghorib. Tak semua orang mampu menjalani yang ibu jalani. Maka saran saya, ibu harus nikmat dan menemukan kenikmatan dalam menjalankan peran tersebut.”
Penanya berikutnya yang menuturkan kegalauannya dalam menjumpai fenomena-fenomena dalam keberagamaan. Intinya ia bingung menghadapi bermacam-macam ekspresi dan aliran. Cak Nun langsung merespons dengan metafor sederhana, yaitu ketela. Dari ketela lahir gethuk, keripik, dan olahan lainnya. “Ibu, carilah ketela, jangan mencari gethuk atau keripik. Para pemimpin kita sering bertengkar untuk eman kepada gethuk atau keripik, mungkin karena takut kehilangan pengikut atau apapun yang lain, dan menyembunyikan ketela. Dan saya kemana-mana mencoba nduduhke ketela itu,” jawab Cak Nun. Lalu dijelaskan olehnya, bahwa ketela di situ adalah ibadah mahdhoh, dan adapun gethuk dan keripik adalah gambaran ibadah muamalah. Ringkasnya, kita harus mengerti dengan tepat posisi dan tempat segala sesuatu.
Masuk pukul 24.00, acara segera tiba di penghujungnya. Untuk secara resmi memeringati satu tahun berdirinya mushalla an-Nasikhakh ini, Cak Nun mengajak semua berdiri dan berdoa bersama, dan ternyata yang dipilih untuk memimpin doa adalah salah satu anak yatim putri. Sangat menyentuh ia membacakan rangkaian do’a dalam bahasa Arab itu, penuh keyakinan, lancar, jelas, dan semuanya mengamini. Sekaligus doa ini mengantarkan diakhirnya acara malam ini. Lagu Syukur dilantunkan, dan Cak Nun menutupnya dengan Innama amruhu idza aroda syai-an an yaquula lahu kun fayakun, fasubhanallladzi biyadihi malakutu kulii syai-in wa ilaihi turja’un.
Para jamaah kembali ke tempat masing-masing dengan diantarkan nomor-nomor pelayanan dari KiaiKanjeng. Mbak Yuli dan para vokalis lain mengantarkannya dengan lagu Wujud Qidam Baqa. Sebagian jamaah masih setia berada di tempat untuk menikmati persembahan penutup dari KiaiKanjeng.