Puasa dan Taqwa
Sudah berapa kali kita mengalami ramadhan? Sudah sejauh mana kemudian ketaqwaan kita dengan ramadhan yang kita alami. Puasa Ramadhan, dalam redaksi “dalil naqli” nya bertujuan untuk “la alakum tattaqun”. Kalo puasa hanyalah tidak makan dan minum, maka mustinya bereslah urusan ketaqwaan kita. Puasa jika ditelaah dari akarnya berasal dari kata soum (bahasa arab) yang artinya menahan diri dari makan. Sedangkan kata puasa sendiri berasal dari kata upa dan wasa, yang konon artinya dekat dengan yang kuasa. Taqwa dilhat dari akarnya ada yang mengartikan hati hati/ menghindar (dari kata waqa), ada juga yang mengartikan menjadi kuat/penguatan (dari kata quwa). Bolehlah kemudian merangkai rangkai ketika kita berhati hati maka kita akan menjadi kuat. Maka kalo tema puasa adalah tidak makan saja, menjadi aneh ketika tidak makan akan menimbulkan kekuatan. Belum lagi ketika taqwa ditelaah dalam makna menjauhi larangan Allah dan menjalani perintah Nya. Pengaitan puasa dan taqwa dalam artian itu lebih menguatkan lagi bahwa puasa tidak cuma tidak makan.
Pengambilan Jarak Batin
Bahwa manusia adalah “makhluk metabolisme” adalah tak terbantahkan, kita membutuhkan makan minum, dan kebutuhan material lain, kita juga membutuhkan “pelepasan nafsu”. Manusia tidak hanya “makhluk metabolisme”, tetapi lebih dari itu. Ada sisi batin/ruhani yang justru membedakan manusia dengan hewan. Puasa adalah pengambilan jarak batin, puasa menuntut kita untuk mengendalikan metabolisme, lapar yang semestinya solusinya adalah makan justru kita tahan. Nafsu seksual (mewakili nafsu yang lain) yang solusinya adalah dilampiaskan justru kita tahan. Puasa adalah pengendalian diri terhadap tarikan tarikan dari luar kita, dan dorongan dorongan dari dalam kita. Dengan itu maka kita akan menjadi “raja” pada metabolisme kita sendiri, dan itu menjadikan kita kuat.
Perintah atau Fasilitas ?
“Orang yang berpuasa berhak mendapat dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat berjumpa dengan Tuhannya “ (hadist nabi).
Puasa memang berlevel level, kegembiraan yang diperoleh pun berlevel. Saat puasa dimaknai sebagai hanya sekedar tidak makan minum maka kegembiraan berpuasa adalah saat berbuka, saat kembali menjadi “makhluk metabolisme”. Bagi orang yang berpuasa yang sudah menjadi “raja” metabolismenya sendiri, dia sudah menjadi “makhluk postmetabolisme”, maka kegembiraan puasanya adalah “perjumpaan” dengan “Sang Maha Mengatur Segala Metabolisme”. Boleh dikatakan bahwa puasa pada level tertentu adalah hanya sebuah perintah, karena ada usaha berjuang menolak hal yang disukai/ hal yang dibutuhkan. Pada level yang lain, puasa adalah fasilitas sebagai jalan sunyi “perjumpaan” dengan Tuhannya.
Wallohu ‘alam bi showab