Di tengah serbuan media informasi dan telekomunikasi dalam bingkai industrialisasi yang “liar’ saat ini, apa yang terbayang di benak kita tentang anak-anak remaja yang masih duduk di bangku SMP/SMA ? Hampir pasti bayangan kita adalah anak-anak yang “konsumtif”, yang ditunjukkan oleh perilaku generasi “kongko-kongko” di mal atau perkumpulan di media sosial, atau kalaupun di antara mereka ada yang berhasrat mencari “ilmu” atau “mengaji”, pasti yang umumnya dicari adalah tempat yang “resmi” dan “pakem”.
Mengaji itu ya hanya kepada “ustadz” di “lembaga resmi” dan yang dicari adalah “ilmu yang resmi” pula, seperti ulasan-ulasan fiqh beku yang tidak mengajak kepada “petualangan” berfikir, berdiskusi, dan mempertanyakan sesuatu yang mungkin bagi “lembaga resmi” tersebut dianggap sebagai pertanyaan atau diskusi “liberal”, “kafir”, atau setidaknya “bid’ah”.
Saya dan teman-teman “pengasuh” Gambang Syafaat ternyata sampai saat ini “buta” atau setidaknya “kurang peka” kalau ternyata di Maiyahan di Masjid Baiturrahman tersebut ada “empat sekawan” anak kelas 2 SMA dan kelas 3 SMP yang rajin ikut menghadiri dan mendengarkan secara aktif, dan duduknya di barisan paling depan pula! Yang menarik, mereka bukan warga Kota Semarang, namun warga Nyatnyono Ungaran. Artinya untuk menuju GS, mereka harus naik motor 20 km jauhnya, di malam hari pula, dan esoknya masuk sekolah!
Boleh jadi kalau terus ditelusuri, jumlah anak seusia mereka yang rajin ikut maiyahan lebih banyak lagi. Saya membayangkan ketika seusia mereka, kalau pun harus mengaji, pasti ke “lembaga resmi” sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan ini, dan bukan “pengajian” yang pesertanya boleh keluar masuk. Sederhana saja, dalam bayangan saya di usia tersebut, mengaji itu ya hanya urusan fiqh atau ibadah mahdoh dan tujuannya tentu sekadar hanya mencari “pahala” atau “surga”, atau setidaknya mencari “nilai” raport atau ijazah.
Namun bagi empat sekawan tersebut, jawabannya sungguh mengejutkan ketika kami tanya, apa yang menarik dari maiyahan di GS? Jawabnya: “Saya bisa berdiskusi dan mendapatkan jawaban-jawaban atas problema hidup, khususnya tentang nilai-nilai islami a la maiyah” Kata mereka, “petualangan berfikir” a la maiyah tidak mereka temukan di berbagai “pengajian resmi”.
Dari fenomena ini saya jadi berfikir, jangan-jangan ilmu-ilmu tentang agama yang diajarkan di sekolah atau bahkan di kampus, sudah “tidak memadai” lagi menjawab problema hidup dalam menghadapi jaman yang sudah berubah makin kompleks ini. Munculnya “aliran-aliran” baru dalam Islam ternyata juga tidak banyak yang mendatangkan “kedamaian” namun justru “ketakutan”, keterasingan, yang berujung kebekuan hidup.
Pertanyaan saya yang belum terjawab sampai saat ini juga, darimana munculnya “kesadaran” anak seusia itu ikut maiyahan sampai pagi, dan dilakukan dengan istiqomah dan suka cita? Apakah ini semacam “hidayah” atau karena anugerah Allah atas kecerdasannya untuk selalu mempertanyakan kebenaran yang hakiki? Berbeda dengan “pengajian” atau “pembelajaran agama yang resmi”, Maiyah hanya upaya mencerdasi kehidupan, mengarifi pengalaman, menjernihi kenyataan, menyetiai jalan dan mengakurasi tujuan – agar para pelakunya mengistiqamahi akad dan cintanya di jalan Allah yang dituntunkan oleh Rasulullah, demikian kata Cak Nun.
Bagaimana mungkin anak seusia mereka lewat maiyahan bisa “menikmati” untuk bisa menyelami kedalaman ajaran Allah, menelusuri keluasannya, serta mengeksplorasi substansinya, esensi dan nuansanya, melalui “petualangan berfikir” atau ijtihad, tafakkur, tadabbur dan taaddub di dalam kehidupannya?
Tentu kita tidak boleh GR untuk — misalnya — menyarankan agar “model” maiyahan diterapkan dalam kurikulum pengajaran agama di dunia pendidikan dasar dan menengah, bahkan pendidikan tinggi. Namun demikian, mereka juga harus berendah hati, apakah kurikulum pengajaran agama, atau model dakwah para ustadz saat ini sudah cukup memadai menjawab tantangan global yang kini sedang sangat dahsyat menenggelamkan bangsa Indonesia dan menghanyutkan Kaum Muslimin, yang inti sesungguhnya adalah gelombang perusakan Agama dan Manusia yang sudah dimulai sejak munculnya awal masehi, sebelum Muhammad hadir dengan kerasulannya?
Apakah kurikulum tersebut juga sudah sanggup “mencerahkan”, “mencerdaskan”, atau setidaknya “memuaskan” anak-anak didik yang sedang tumbuh taraf kecerdasannya tersebut, sementara keseharian mereka dikepung dan akan ditenggelamkan secara internasional untuk mengagamakan yang bukan Agama, men-tuhan-kan yang bukan Tuhan, serta apa yang disebut Cak Nun sebagai fenomena pengguyuran racun dan epidemi kebodohan berpikir, kedangkalan mata pandang, kekerdilan mental, kesempitan jiwa, mata kuda materialism, dst, yang secara keseluruhan melahirkan watak-watak primitivisme dan ketidak-beradaban?
Kalau kita terlalu pesimis “model” maiyahan sulit bila diterapkan dalam konsep pembelajaran resmi, barangkali juga didasarkan atas fakta sebagian besar meremehkan Masyarakat Maiyah, menganggapnya tidak ada, tidak pernah sungguh-sungguh perduli terhadap apa yang dilakukannya, disepelekan dan direndahkan oleh media-media arus besar saat ini.
Keempat anak remaja tersebut setidaknya bukan hanya menikmatinya secara konsumtif dalam ber-maiyah, namun sudah mampu merenungi, mencari, serta berupaya menemukan perubahan-perubahan berbagai kadar dan tingkat, meski baru pada skala pribadi. Harapannya, ke depan, generasi seperti itu akan semakin banyak hadir dalam forum maiyahan untuk menuju “reformulasi” diri, menyiapkan untuk kemudian coba menata kematangan dan kedewasaan berfikir sebagai bekal langkah-langkah perjuangannya di kelak kemudian hari.